Katanya, jalan-jalan di kota Solo belum
lengkap tanpa mengunjungi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Baiklah, saat
kunjungan sehari tanggal 7 Februari 2016 yang lalu, akhirnya saya menyempatkan
diri berkeliling Keraton Surakarta agak pagi sekitar pukul 09.30 setelah mampir
sebentar di Pasar Gedhe.
Sepeda motor langsung saya arahkan menuju Gapura
Gladak melewati Alun-alun Lor (Utara) yang digunakan untuk pasar sementara Pasar
Klewer yang kebakaran beberapa waktu yang lalu. Jalan terus ke selatan, masuk
melalui Kori Brojonolo Lor. Karena banyak yang parkir di area depan Kori
Kamandungan, saya pun ikut memarkirkan sepeda motor di sana. Tepat di depan
loket pembelian tiket masuk keraton. Untuk memasuki keraton, membayar tiket
sebesar Rp 10.000,- jika ingin menggunakan jasa pemandu nambah bayar Rp
50.000,- belum termasuk tips-nya lho.
Kori Kamandungan |
Karena saya sendirian, oleh bapak pemandunya dibarengkan sama Ibu-ibu (maaf, lupa namanya). Beliau sendirian juga, ke keraton dengan suatu maksud tertentu, dan ternyata sudah kenal juga sama bapak pemandu yang tak lain adalah abdi dalem keraton.
Ternyata, untuk memasuki keraton harus
berjalan kaki lagi ke arah timur melewati gapura berwarna putih (maaf, saya
nggak tahu namanya :D). Di sepanjang jalan, banyak orang-orang yang berjualan. Setelah
berjalan kurang lebih 150 meter, maka di kanan jalan akan dijumpai pintu masuk keraton.
Disambut oleh patung Susuhunan Paku Buwono X. Di sini pengunjung harap
berhati-hati karena ada beberapa fotografer yang mencari mangsa untuk difoto di
depan patung tersebut, yang kemudian akan dicetak dan diminta bayarannya ketika
kita selesai mengunjungi keraton.
Keraton Surakarta atau lebih dikenal dengan
Keraton Solo terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo,
Jawa Tengah. Dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono II setelah istana yang
sebelumnya di Kartasura hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina yang
dikenal dengan Geger Pecinan tahun 1740. Untuk lebih lengkapnya, bisa melihat
silsilah Dinasti Mataram yang ada di dekat pintu masuk keraton.
Jaman keemasan Keraton Surakarta dialami
pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X. keraton Surakarta melakukan
restorasi besar-besaran dengan percampuran gaya arsitektur antara Jawa dan
Eropa dalam nuansa putih dan biru.
Untuk menuju ke pelataran keraton, yang
merupakan bangunan inti dari seluruh bangunan yang keraton, pengunjung wajib mematuhi
tata tertib yang diberlakukan. Contohnya tidak boleh memasuki pelataran keraton
dengan menggunakan sandal, kalau sepatu sih boleh. Sandal harus dilepas (ada
tempat penitipan sandal) alias tidak memakai alas kaki / nyeker. Peraturan
lainnya bisa dibaca pada foto di bawah ini.
Pelataran ini seperti sebuah taman dengan
banyak pepohonan. Sebagian besar yang ditanam adalah sawo kecik yang sudah
berusia dua ratusan tahun. Bagi Kasunanan Surakarta, sawo kecik memiliki makna
tersendiri. Pepohonan tersebut tumbuh di atas hamparan pasir yang konon diambil
dari Pantai Parangkusumo. Di pelataran ini, pengunjung tidak bisa
berjalan-jalan ke sembarang tempat karena sudah ada batas-batasnya.
Bangunan paling mencolok di sini adalah
Bangsal Maligi. Di depannya terdapat beberapa patung bergaya Eropa. Di sebelahnnya ada bangunan berkaca
untuk tamu VIP.
Jika sedang beruntung, pengunjung bisa
berfoto dengan prajurit keraton.
Masih ingat kan menara yang terlihat di foto
Kori Kamandungan atas tadi? Nah, pintu masuknya berada di sebelah utara pelataran
ini. Namanya Panggung Songgo Buwono. Menara dengan tinggi kurang lebih 30 meter
tersebut berbentuk segi delapan. Susuhunan Paku Buwono III mendirikannya sebagai
tempat meditasi bersama dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sebenarnya fungsi menara
tersebut sebagai tempat mengintai gerak-gerik Belanda yang berpusat di Benteng
Vastenburg dan sekitarnya.
Keluar dari pelataran keraton, saya diajak
ke sebuah museum. Di museum ini terdapat 2 bangunan dengan 12 ruangan yang
memanjang dan saling berhubungan. Beraneka ragam peninggalan bersejarah yang
dipajang di dalam ruang museum. Dimulai dari ruangan pertama yang berisi
foto-foto raja yang pernah berkuasa di Kasunanan Surakarta. Menurut bapak
pemandu, yang paling terkenal adalah Susuhunan Paku Buwono X yang memiliki 42
istri berupa 2 permaisuri dan 40 selir.
Sebenarnya banyak benda-benda yang menarik
dan menyimpan sejarah panjang di sini. Sayangnya, museum ini terlihat usang dan
tidak terawat dengan penerangan yang seadanya serta cat yang sudah kusam. Koleksi-koleksi
tersebut di antaranya yaitu alat kesenian tradisional. Beberapa contoh wayang
kulit, aneka bentuk topeng, serta relief kesenian tayub dan lain sebagainya. Selain
itu, ada juga koleksi benda-benda pusaka seperti keris, pedang, senapan,
tombak, dan lain-lain.
Di dalam museum terdapat 2 kereta kencana.
Salah satunya bernama Kyai Groedo. Kereta ini adalah pemberian dari VOC kepada
Susuhunan Paku Buwono II, pernah dinaiki oleh beliau ketika berpindah dari
Kartasura ke Surakarta. Ada beberapa lagi yang ditempatkan di teras museum.
Serta ada 2 kereta jenazah yang penah digunakan untuk membawa jenazah Susuhunan
Paku Buwono X.
Menurut penjelasan dari bapak pemandu, ada
beberapa benda-benda yang dikeramatkan dan tidak boleh difoto. Di antaranya
adalah sebuah gong yang rata bernama Gong Beri. Konon, gong tersebut bisa
berbunyi sendiri (silakan bagi yang percaya atau tidak). Benda lain yang tidak boleh
difoto adalah hiasan perahu Kyai Rajamala. Perahu ini digunakan sejak masa
pemerintahan Susuhunan Paku Buwono IV dan pernah dibawa ke Madura.
Penjelasan tersebut saya dapatkan dari pemandu.
Akan tetapi di benda-benda tersebut tidak ada keterangannya boleh difoto atau tidak.
Jadi bagaimana jika ada pengunjung yang tidak mengetahui aturan tersebut dan
malah menjadikan benda-benda itu sebagai latar belakang fotonya?
Di halaman museum, tepatnya di bawah pohon
beringin besar terdapat sumur. Dikenal dengan nama sumur songo. Konon, dulunya
di atas sumur tersebut Susuhunan Paku Buwono IX pernah bertapa selama 40 hari
tanpa tidur dan makan. Sumur ini masih masih bisa digunakan, dan katanya air
ini sangat jernih sehingga bisa diminum langsung.
Di dekatnya ada peninggalan yang lain berupa
potongan kayu jati Kyai Dhanalaya yang berasal dari hutan Donoloyo.
Kiranya hanya itu yang bisa saya bagikan
dalam tulisan ini. Sebenarnya banyak banget koleksi-koleksi museum yang menarik
untuk diulas sejarahnya. Tapi ya masa iya saya tulis semua? Capek dong. Hahaa :D
Mengunjungi tempat-tempat cagar budaya
seperti Keraton Surakarta merupakan cara belajar sejarah dan kebudayaan dengan efektif.
Membayangkan betapa beruntungnya kita hidup di masa sekarang yang sudah tidak
ada lagi peperangan untuk memperluas kekuasaan.
Jalan2nya seru banget. Museumnya juga cukup gede ya? dan foto-able banget. Aku belum pernah ke solo sama sekali, :D
BalasHapusitu background blognya pantai apa gan?
BalasHapusPaket Wisata Jogja