Selasa, 23 September 2014

Perjalanan panjang menuju Borneo


Bandara Soekarno-Hatta, Juli 2010 menjadi gerbang saksi mata perjalananku menuju Pulau Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia setelah Irian dan Greenland. Dari ketinggian lebih dari 30.000 kaki di atas permukaan air laut nampak petak-petak sawah yang hijau nan asri. Liku bukit yang tergambar jelas keindahannya ciptaan Yang Maha Kuasa. Lautan luas seolah mempertontonkan ombak yang berkejar-kejaran. Layak jika Nusantara mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa. Semakin dekat, semakin nyata kumpulan kapas yang beterbangan di angkasa luas. Bukan, itu bukan kapas melainkan Cirrus, Stratus, Cumolonimbus bahkan nama lain dari awan-awan yang mengelilingi pesawat Boeing 737-900ER.

Mendarat dengan sempurna pada landasan udara Syamsudin Noor di Banjarbaru yang terletak sekitar 25 km dari pusat kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bandar udara yang unik, dimana untuk menuju pintu kedatangan, diharuskan menaiki bus khusus bandara. Oh ya, perbedaan waktu antara Jawa dan Kalimantan Selatan terpaut 1 jam.

Perjalanan masih dilanjutkan sekitar 8 jam menuju Kota Baru, sebuah kota di Kalimantan Selatan yang dikenal dengan pulau laut. Kala itu senja telah menggantung di langit menggantikan terang mentari. Gelapnya malam di Borneo semakin mencekam, sambil menunggu travel yang akan mengantarkan rombongan menuju Kotabaru. Tengah malam, laju minibus dengan belasan penumpang inipun semakin berkejar-kejaran dengan waktu. Dibalik jendela, kutengok kanan dan kiri nampak menyeramkan. “Namanya saja hutan belantara.” Batinku dalam hati. Gelap gulita dengan penerangan hanya melalui lampu sorot mobil. Sesekali nampak rumah-rumah panggung yang berada di tepi jalan.
 
Esok pun menjelang. Fajar perlahan menyingsing menampakkan keindahan tatkala minibus yang kami tumpangi akan menyeberangi sungai dengan menggunakan kapal feri. Kontras dengan warna air yang membiru di ujung cakrawala. Seakan hati tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta yang telah menciptakan keindahan alam di bumi Indonesia khususnya Kalimantan yang jarang terjamah dibandingkan Pulau Jawa. Kali ini, kami sudah sampai di Batulicin.

Kotabaru gunungnya Bamega. Mengunjungi Kotabaru tak lengkap tanpa melihat pemandangan dari taman Siring. Sebuah pedestrian yang tak jauh dari pelabuhan, dimana terdapat patung ikan besar. Tempat ini sekedar untuk jalan-jalan orang-orang Kotabaru pada umumnya. Sempat aku beserta rekan-rekan menginjakkan kaki di tempat wisata pantai Sarang Tiung. Hampir mirip dengan pantai yang berada di Gunung Kidul - Yogyakarta dengan pasir putihnya. 2 ciptaan Tuhan yang berbeda, namun berdampingan satu sama lain. Pegunungan dan pantai.

Siring - Kotabaru

Pantai Sarang Tiung | Maaf yee jelek, cuma pake HP :(

Tak hanya itu saja keistimewaan dari provinsi Kalimantan Selatan. Dengan speedboat aku melanjutkan perjalanan menuju Senakin, salah satu penghasil batu bara di Indonesia. Jujur, ini pertama kalinya aku menaiki speedboat yang hanya cukup untuk lima orang saja. Ya, benar-benar tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jutaan ombak yang menerjang. Untungnya, aku tidak merasa takut sedikitpun saat air laut sesekali memercikkan diri ke tubuh kami.

Setelah perjalanan kurang lebih satu jam, sampailah di sebuah pelabuhan speedboat milik PT. Arutmin. Dari kejauhan tampak sebuah benda yang sangat asing terlihat. Sama sekali aku tak pernah mengenalnya. Setelah diketahui, ternyata rel berjalan tersebut adalah pengangkut batubara yang memiliki jalur sudah langsung menuju kapal. Sesaat aku sadar, sambil mengucap lirih “Selamat datang di dunia pertambangan”.

Sungguh, Indonesia itu luas dan kaya akan budaya, keindahan alam, serta bisnis. Tidak hanya Pulau Jawa saja.

Pertama kali praktik kerja | Masih cupu :D

Percaya kalau ini aku???

Hari terakhir | Miss you all


Workshop BUMA Senakin 2010

1 komentar:

Terima kasih dan selamat datang kembali :)