Ketika sebagian besar orang lebih tertarik
menuliskan perjalanannya ke alam terbuka, tempat-tempat yang indah, saya malah asik
bergelut dengan museum. Sebuah tempat yang kalau kita mengajak seseorang,
mereka akan bilang “ngapain sih ke
museum?”. Museum itu kuno. Tak tahukah mereka bahwa tak kan ada kehidupan
yang modern seperti ini tanpa peradaban yang mereka sebut “kuno” itu?
Saya senang berkunjung ke museum-museum yang
ada di Jawa Tengah. Alhamdulillah, beberapa kali diberi kesempatan untuk
mengunjungi museum di Yogyakarta bahkan hingga Surabaya. Museum itu tempat
wisata yang banyak ilmunya, murah pula, tak jarang ada beberapa museum yang
memberlakukan tiket gratis.
Pagi itu, hari Minggu tanggal 11 September
2016. Saya niatkan diri untuk berkunjung ke Museum R.A. Kartini di Jepara. Hal
ini pun tidak serta merta rencana yang mendadak, akan tetapi sedikit tergerak
oleh sebuah novel fiksi yang sebelumnya saya baca. Bukankah membaca novel lebih
menarik dibandingkan memahami buku sejarah? Ya, benar, seperti yang sedang saya
lakukan waktu itu. Novel itu berjudul ‘Kota Lama dan Sepotong Cerita Cinta’
karya Herdiana Hakim. Tentang sebuah perjalanan lintas masa, dimana sang tokoh
utama terdampar di Jepara pada masa lalu. Dan bertemulah ia dengan sosok Raden Ajeng
Kartini.
Mungkin saya sama halnya dengan kalian
semua, mengenal Raden Ajeng Kartini melalui buku cetak sejak kita menginjak
bangku SD (Sekolah Dasar). Bapak / Ibu guru kita pernah menyinggung seorang
pahlawan nasional pejuang emansipasi wanita. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini.
Tapi benarkah kita sudah paham betul bagaimana seorang Raden Ajeng Kartini memperjuangkan
hak-hak perempuan pribumi pada masanya?
Raden Ajeng Kartini – yang kemudian pada
tulisan ini saya sebut R.A. Kartini – merupakan salah satu Pahlawan Kemerdekaan
Nasional yang berasal dari Jawa Tengah. Beliau lahir pada tanggal 21 April 1879.
Merupakan putri keempat dari R.M.A.A. Sosroningrat dan ibu kandungnya adalah M.A.
Ngasirah (garwo ampil), istri pertama ayahnya namun bukan istri utamanya. Istri
kedua ayahnya yaitu R.A. Moerjam sebagai garwo padmi, putri R.T.A. Tjitro
Wikromo, Bupati Jepara yang digantikan oleh R.M.A.A. Sosroningrat.
Monumen
Ari-Ari Kartini, Mayong
Di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, terdapat Monumen Ari-Ari Kartini. Di tanah yang tak terlalu luas tersebut tertanam plasenta R.A. Kartini di sebuah monumen yang serupa bunga teratai. Selain monumen, ada sumur dan tugu penanda dimana R.A. Kartini dilahirkan. Letaknya dekat dengan kantor kecamatan Mayong. Monumen Ari-Ari Kartini ini dibangun oleh Pemda Kabupaten Jepara pada tahun 1979.
Sewaktu kecil, R.A. Kartini mendapat julukan
sebagai “Trinil” karena kebebasan dan kegesitannya bergerak semasa kecil. Setelah
2 tahun berada di Mayong, pada tahun 1881 R.M.A.A. Sosroningrat diangkat
menjadi Bupati ke-31 Kabupaten Jepara sehingga beliau dan keluarganya pindah ke
Rumah Dinas Kabupaten Jepara.
R.A. Kartini pernah mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Di sekolah
ini, R.A. Kartini mempelajari banyak pelajaran termasuk Bahasa Belanda, dan itu
merupakan sebuah prestasi wanita Jawa di masa itu. Setelah memasuki usia 12
tahun beliau dipingit di rumah dan itu lazim dilakukan oleh keluarga bangsawan saat
itu untuk mempersiapkan anak gadisnya memasuki pernikahan. R.A. Kartini mengalami
bagaimana tradisi itu membelenggu kebebasannya. Niatnya untuk sekolah ke
Batavia atau Eropa gagal. Adat tidak mengizinkan gadis-gadis untuk belajar.
Selama masa pingitan, R.A. Kartini belajar
sendiri. Membaca buku adalah kegiatannya, tidak hanya buku berbahasa Indonesia saja
tetapi juga terbitan Belanda untuk memperkaya wawasannya. Beliau mempunyai sahabat
pena berkebangsaan Belanda diantaranya yaitu Ny. Abendanon Mandri, Ny. Van
Kol-Porrey, Ny. Ovink Soer, Estell ‘Stella’ Zeehandelaar, dan Ny. De Booy. Dalam
surat-suratnya R.A. Kartini menulis tentang pandangannya terhadap kondisi sosial
yang berlaku saat itu, terutama kondisi wanita Indonesia. Mayoritas
surat-suratnya memprotes kecenderungan budaya Jawa yang meletakkan penghalang
bagi perkembangan wanita. Beliau ingin wanita memiliki kebebasan untuk belajar.
Museum
R.A. Kartini, Jepara
Tidak banyak barang-barang peninggalan R.A.
Kartini yang ada di Museum R.A. Kartini Jepara. Salah satu yang paling mencolok
dan berada dekat dengan pintu masuk adalah mesin jahit, ruang kerja, dan ruang
belajar. Selain itu juga banyak foto-foto dan penjelasan tentang R.A. Kartini
semasa hidup beserta keluarganya.
Isi kamar R.A. Kartini |
Koleksi foto Museum R.A. Kartini Jepara |
R.A. Kartini bersama dengan adik-adiknya,
R.A. Kardinah dan R.A. Roekmini dikenal dengan Tiga Serangkai karena kekompakan
mereka. Dari ketiga perempuan ini, R.A. Kartini menjadi pemimpin. Sifat
kepemimpinan R.A. Kartini yang mencolok menjadikan jarang terjadi perselisihan
di antara mereka.
Tiga Serangkai |
Di Museum R.A. Kartini Jepara, terdapat
sebuah potret hitam putih R.A. Kartini bersama saudaranya sedang berada di
sebuah Sekolah Kartini, yaitu sekolah pertama gadis-gadis priyayi Bumiputera. R.A.
Kartini dan saudaranya mengumpulkan
murid-murid pertamanya yang berasal dari lingkungan belakang pendopo Kabupaten
Jepara. Pada awalnya hanya satu anak saja kemudian sampai terkumpul sembilan anak
perempuan. Mereka dibina dan diberi pendidikan ilmu budi pekerti, baca tulis,
dan keterampilan. Salah satu hasil keterampilan muridnya juga ada di Museum R.A.
Kartini Jepara yaitu renda.
Barang-barang pribadi milik R.A. Kartini yang
ada di museum ini diantaranya yaitu bothekan – sebuah peti kecil yang digunakan
untuk menyimpan jamu, ukiran macan kurung – sebuah ukiran kayu dari satu balok
utuh tanpa sambungan dan lem, dakon, mangkok, piring, serta tempat telur.
Di Museum
R.A. Kartini Jepara mempunyai 3 ruang pameran. Ruang I adalah Ruangan Kartini,
Ruang II adalah Ruangan Jepara Kuno, dan Ruang III adalah Ruangan Kerajinan
Jepara. Karena dalam tulisan ini difokuskan membahas tentang R.A. Kartini, jadi
untuk dua ruangan lainnya di posting selanjutnya yaa :)
Untuk memasuki museum ini cukup membayar Rp
4.000,- saja pada waktu weekend. Sangat murah, bukan?
Cita-cita mulia R.A. Kartini dengan membuka
sekolah bagi para gadis Jepara harus kandas. Ayahnya menjodohkannya dengan Bupati Rembang, R.M.A.A. Djojo
Adhiningrat. Sesungguhnya ini bertentangan dengan keinginan R.A. Kartini, namun
beliau setuju karena calon suaminya
mengerti akan tujuan mulianya dan mengabulkan cita-citanya untuk mendirikan
sekolah bagi wanita di serambi timur kawasan kantor bupati Rembang. Keduanya menikah
pada tanggal 8 November 1903 (tanggal ini saya dapatkan dari sebuah keterangan
di Museum R.A. Kartini Rembang). Beberapa referensi dari buku yang saya baca, kebanyakan
menuliskan R.A. Kartini dan R.M.A.A. Djojo Adhiningrat menikah pada tanggal 12 November
1903.
Lukisan R.A. Kartini dan suami |
Museum
R.A. Kartini, Rembang
Selain di Jepara, adapun Museum R.A. Kartini
yang terletak tak jauh dari Alun-alun Rembang. Saya mengunjungi museum ini di
hari Minggu, 16 Oktober 2016. Di depan bangunan utama museum terdapat pendopo besar,
dimana tiang penyangga utamanya berasal dari kayu sementara beberapa
kolom-kolom lainnya berwarna putih bergaya Eropa. Kebetulan sekali pada saat
saya berkunjung, di pendopo akan diadakan sebuah acara, jadi tidak bisa leluasa
mengeksplor kawasan museum keseluruhan.
Pendopo Kabupaten Rembang - tampak samping |
Tiang Utama Pendopo Kabupaten Rembang |
Pintu Masuk Museum R.A. Kartini Rembang |
Pintu masuk museum baru dibuka ketika saya
datang. Otomatis hanya saya sendirian yang akan melihat-lihat koleksi museum. Setelah
membayar Rp 2.000,- saya dipersilakan masuk oleh penjaganya.
Ibu penjaga :
“Silakan mbak, berani sendirian kan?”
Saya :
“Berani, bu.” (Padahal sambil berdoa semoga ruangan-ruangannya nggak gelap)
Assalamualaikum…
Museum R.A. Kartini Rembang lebih besar dibandingkan
dengan Museum R.A. Kartini Jepara. Koleksinya pun lebih banyak. Jika di Jepara
menceritakan tentang R.A. Kartini sebelum menikah, maka di Rembang menceritakan
kehidupan R.A. Kartini ketika sudah menikah. Setelah menikah, gelar Raden Ajeng
pada R.A. Kartini otomatis berganti menjadi Raden Ayu.
Beberapa ruangan ada di sisi kiri dan kanan bangunan
museum, sepertinya dulu digunakan sebagai kamar tidur. Salah satu ruangan
tersebut adalah kamar pengabdian R.A. Kartini. Di dalamnya terdapat tempat
tidur milik R.A. Kartini, meja hias, koleksi baju, meja rias, serta meja tempat
merawat bayi. Keluar dari ruangan ini, di sebelah kiri akan ditemukan kamar
mandi yang bersih, di dalamnya ada bathup milik
R.A. Kartini yang kondisinya masih bagus.
Isi kamar pengabdian R.A. Kartini |
Di dalam ruang koleksi buku bisa ditemukan tulisan
tangan R.A. Kartini pada beberapa lembar kertas. Sayangnya kondisi tulisan
tersebut tidak bisa dibaca karena tinta pada satu halaman saling menempel pada
halaman lainnya. Di sebelahnya terdapat sebuah buku berjudul “Door Duisternis Tot Licht” yang secara
harfiah artinya Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buah karya tulisan R.A. Kartini
yang dibukukan pada tahun 1911 oleh Mr. J.H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Berikut adalah alat-alat yang digunakan oleh
R.A. Kartini untuk menuliskan pemikiran-pemikiran serta idealismenya ke dalam surat
yang secara rutin beliau kirimkan kepada korespondensinya. Ada tempat surat,
tempat tinta, dan tempat stempel.
Di ruang keluarga bisa ditemukan ruang
belajar, ruang kerja, mesin jahit, dakon, serta ukiran macan kurung. Benda-benda
tersebut sangat mirip dengan yang ada di Museum R.A. Kartini Jepara. Mungkinkah koleksi-koleksi
ini hanya replika? Sayangnya saat itu tidak ada pemandu, jadi saya tidak bisa
bertanya lebih jauh.
Selain itu juga banyak koleksi foto-foto hitam
putih koleksi KITLV, Leiden yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan serta kutipan
surat R.A. Kartini untuk sahabatnya.
Salah satu foto yang paling menggelitik adalah foto R.M. Singgih yang kemudian
dikenal dengan nama R.M. Soesalit – anak satu-satunya R.A. Kartini yang lahir
pada tanggal 13 September 1904 – seorang anak laki-laki yang mengenakan pakaian
perempuan.
“Kalau anak yang saya kandung di bawah
jantung hati saya ini perempuan, apakah yang lalu saya harapkan baginya? Saya
akan berharap, mudah-mudahan hidupnya kaya dan berisi. Kehidupan yang telah
dirintis ibunya, moga-moga dapat diteruskannya. Dia tidak akan dipaksa melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan perasaan dalam lubuk hatinya. Apa yang
dilakukan, akan dilakukan atas kemauan sendiri yang bebas.” (surat R.A. Kartini,
6 Agustus 1904)
“Sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian
bayi bagi calon cucu Ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami saya
mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan
berlipat, karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki.” (surat R.A. Kartini,
30 Juni 1904)
Setelah melahirkan anak pertamanya, R.A.
Kartini jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang masih
25 tahun pada tanggal 17 September 1904. Beliau kemudian dimakamkan di Desa
Bulu, Rembang.
Presiden Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei1964,
yang menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir R.A. Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Berikut beberapa kutipan dari surat-surat R.A.
Kartini yang berpihak kepada perempuan untuk mendapatkan hak-hak seperti
laki-laki.
Masa depan
perempuan sekarang sudah terang benderang, perempuan boleh memiliki pendidikan
tinggi seperti laki-laki, dan itu
merupakan jasa R.A. Kartini. Sungguh
sebuah keputusan yang layak dengan menjadikan R.A. Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Karena pahlawan tidak hanya mereka yang berjuang
mengangkat senjata, tetapi juga mereka yang memperjuangkan kemerdekaan melalui
buah pikirannya, tulisan-tulisannya. Tidak hanya untuk perempuan Jawa, tetapi
bagi perempuan di seluruh Indonesia.
Bagi orang-orang yang mengatakan bahwa
museum itu tidak menarik dan terkesan singup,
kalian salah besar. Museum menyimpan sejarah, banyak ilmu yang bisa dipelajari
dengan melihat langsung, bukan hanya hafalan teks dalam buku sejarah.
Karena sejarah itu bukan cuma hafalan.
Dengan menghafal, kemungkinan besar kamu akan lupa. Memorimu perlahan
tergantikan dengan yang lebih baru. Tapi dengan memahami dan melihat langsung,
besar kemungkinan ingatanmu akan bertahan lebih lama.
Referensi:
-
Buku “The Legend of Women, Kisah Menakjubkan
50 Wanita Paling Tangguh Sepanjang Sejarah Dunia” karya Angelica Surya.
-
Buku “Jejak-jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan
Bangsa Indonesia” karya J.B. Soedarmanto.
-
Keterangan-keterangan yang ada di Museum
R.A. Kartini Jepara dan Rembang.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba
Blog Visit Jawa Tengah 2016
Yang diselenggarakan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih dan selamat datang kembali :)