Betapa sikap songong emang menyebalkan dan
bikin speechless, ya?
Ini nggak lagi ngomongin orang kok, enggak bermaksud
ngerasani siapa-siapa. Ini ngomongin
soal aku sendiri. Iya, aku akui emang agak songong dan punya rasa pengen tahu yang
lebih. Rasanya nggonduk banget
setelah tahu fakta yang sebenarnya, tapi ya gimana ya udah terlanjur nyemplung, kepalang basah. Ya sudahlah, ambil
sisi positifnya yaitu (mungkin) lebih banyak tahu daripada orang-orang lain. Jadikan
pelajaran aja semoga lain kali lebih teliti dan cermat.
Eh, jadi ngelantur kan? Niatnya mau
ngomongin air terjun malah jadi curhat. Abisnya, udah capek-capek disamperin
ternyata…
Sebagai kado di hari ulang tahunku (16
Agustus 2015), aku mengajak jalan-jalan diriku sendiri ke sebuah tempat di daerah
Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Jogja. Tujuan awalnya ke Gunung Ireng di Desa
Pengkok. Eh liat papan nama sebuah air terjun. Langsung nggak pakai mikir
disamperin lah tempat itu.
Rute dari Bukit Bintang naik menuju perempatan Patuk, belok kanan lewat jalan di samping Polsek Patuk. Lurus hingga menemukan pertigaan pertama, ambil jalan turunan (petunjuk Jurug Taman Sari atau Gunung Ireng). Lurus terus sampai nemu petunjuknya di kanan jalan. Pokoknya sebelum perempatan yang ada patung Semar di tengahnya.
Awalnya sih jalanan ber-aspal mulus. Tapi di
pertengahan jalan dihadapkan jalan cor-coran yang agak rusak, tanjakan pula. Untungnya
nggak zonk, banyak petunjuk arahnya. Sampai
di perempatan, masuk gerbang selamat datang di Jurug. Parkirnya di halaman
rumah warga.
Untuk sampai di lokasi air terjun,
perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Setelah sampai di gazebo buatan,
jangan senang dulu karena perjalanan selanjutnya baru akan dimulai. Melewati jalan
setapak, menuruni jalanan berbatu terjal dan sawah yang kering tak terpakai,
hingga ‘cari jalan sendiri’ menuju air terjun. Pokoknya perjuangan banget deh. Buat
yang manja dan suka ngeluh kepanasan, mending nggak usah ke sini.
Kelelahan ini terbayar dengan batuan yang
dilewati air terjun lumayan tinggi. Agak kecewa karena airnya kering. Namanya juga
musim kemarau. Ngapain juga musim kemarau pergi ke air terjun? Hahaa.
Kalau musim hujan, debit airnya bakal
banyak. Pasti keren banget.
Di sana cuma aku doang yang berkunjung
padahal hari Minggu. Bertemu dengan 2 orang bapak-bapak yang lagi mancing. Entah
mancing apaan, emang ada ikannya pak? Setelah ngobrol sebentar dengan
bapak-bapak itu, aku berpamitan.
Nggak langsung pulang, tapi menyusuri sungai
dulu menuju Jurug Grejeg-grejeg. Masih di
lokasi yang sama. Jurug Grejeg-grejeg ini lebih tinggi daripada Jurug Gede,
tapi debit airnya lebih sedikit. Bahkan kering di musim kemarau, hanya terlihat
bekas alirannya saja. mungkin kalau nggak ada petunjuk namanya, aku sendiri
juga nggak ngeh kalau itu sebuah air terjun.
Udah puas di bawah, saatnya pulang. Jika menuju
air terjun dihadapkan dengan turunan, maka pulangnya? Yak betul, menanjak! Semangat!
FYI aja sih, kalau mau mengunjungi air
terjun ini sebaiknya siap-siap bawa air minum. Karena bakalan kehausan. Kalau aku
sih beli di rumah warga yang halamannya buat parkir. Murah, men. Sebotol Aqua
tanggung cuma bayar Rp 2.000,- Sekalian bayar parkir Rp 1.000,- untuk motor
atau Rp 3.000,- untuk mobil, dan biaya masuk Rp 1.000,- saja.
Pikirku, mumpung lewat di daerah sini,
mampir sekalian di Jurug Taman Sari aja.
Beneran aku samperin ke desa Semoyo. Ada petunjuknya
kok, nggak usah takut nyasar. Kelihatan menonjol banget gerbangnya, ada tugu monument
peresmiannya berupa sebuah batu. Untuk masuk ke lokasi air terjun dikenai tiket
masuk Rp 3.000 / orang dan parkir Rp 2.000 untuk motor atau Rp 5.000 untuk
mobil.
Di tengah jalan, agak kebingungan mau parkir
motor dimana. Untunglah bertemu dengan bapak-bapak gahol ber-headseat
Bapak :
“Mau kemana, mbak?”
Aku :
“Air terjun sebelah mana ya pak?”
Bapak :
“Turun situ, tapi jalannya susah. Parkir di
sini aja gapapa. Sendirian aja mbak?”
Syukurlah, aku menuruti perkataan bapak itu
parkir di halaman rumahnya. Emang bener kata bapak itu, di bawah ada tempat
parkir motor, tapi jalannya masih jalan tanah. Semoga cepat diperbaiki.
Jalan kaki lagi di sebuah jalan setapak
untuk menuju air terjun. Dianjurkan pakai sandal jepit aja atau sepatu gunung
sekalian biar nggak licin karena jalan turun cukup curam.
Makin semangat dari atas udah kelihatan gazebo-gazebo
buat istirahat. Wah keren nih, pikirku.
Tapi setelah dilihat-lihat lebih jeli kok
kayaknya familiar ya? Kok ada 2 orang bapak-bapak yang lagi mancing ya? Kayak pernah
lihat sebelumnya, dimanaaa gitu. Apakah ini de
javu?
Eh ternyata ada tulisannya Jurug Gede. Oalah,
ternyata tempat yang sama cuma beda pintu masuk aja. Tau gitu nggak usah
sok-sokan songong nyamperin ya. Cuma dapet capek doang plus dongkol, geli-geli
gimana gitu. Hahaha.
Masih di lokasi yang sama, di dekat sebuah tempat
untuk beristirahat, ada petunjuk menuju Air Terjun Banyu Semurup. Menyeberangi jembatan
bambu yang sudah sangat mengenaskan, melewati kebon-kebon yang sepi bangeeet,
melewati batu-batu besar. Sialnya nggak ada petunjuk lagi. Maka kuputuskan
untuk menyudahi jalan-jalan kali ini. Capek banget sih *padahal aslinya takut
kesasar hahaa.
Akhir kata, jangan pergunakan kakimu untuk
berjalan-jalan di mall melulu. Sekali-kali
pijaklah tanah, batu, bahkan air secara langsung untuk mengetahui nikmat dan
indahnya ciptaan Tuhan.
Ayo mblusuk!
Emang ini lokasi banyak namanya mbak. Mbingungi...
BalasHapusapalah arti sebuah nama *lalu dikeplak...kemarau yaa jadi kering semua hiks...
BalasHapus