Bagiku, menunggu adalah hal paling
menjenuhkan di semesta ini. Menunggu adalah hal paling membosankan yang harus
kualami.
Di tempat ini, sebuah ruangan segi empat
yang tak terlalu luas jika dibandingkan dengan bangunan kantorku. Hari ini, 27
Maret 2013. Aku sengaja menyambangi sebuah toko buku pada saat jam kerja dan
jam anak sekolah menunaikan kewajiban belajarnya. Jelas, waktu-waktu dimana toko
ini terlihat lenggang oleh pengunjung. Mungkin terhitung tak lebih dari 15 orang
sedang bertransaksi atau sekedar numpang membaca di ruangan yang adem ini. Berteman
alunan musik yang sesekali bergantian dengan suara pramuniaga yang menawarkan
buku-buku new arrival melalui
pengeras suara di sudut ruangan.
Aku menangkap sosok lelaki jangkung yang
wajahnya sangat tak asing lagi bagiku. Rasanya aku pernah mengenalnya dalam
sebuah peristiwa. Kuputuskan untuk tak menggubrisnya dan aku mulai menelusuri
jajaran buku, membaca sinopsis novel-novel yang baru terbit.
“Hai, masih ingat aku?” suara itu seperti
bisikan merdu di telingaku. Suara yang berasal dari lelaki jangkung yang
tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada lima jengkal dariku. Ah, mungkin itu hanya
perasaanku saja. Aku pun tak menghiraukannya sambil berlalu menyusuri rak-rak
penuh dengan deretan komik yang lenggang oleh pengunjung.
“Aku Tara. 27 Maret 2007 is our anniversary.
Kamu masih inget?” Deg! Aku terkejut dengan perkataannya. Untung jantungku
nggak mogok kerja dan masih setia memompa udara ke rongga dada, coba kalau
ngambek mungkin udah mati berdiri.
“Bagaimana mungkin?” tanyaku dalam hati
seraya melamunkan otak menuju masa dimana 3 tahun silam saat aku tak pernah
sendirian mengunjungi toko buku ini.
“Tidak, ini tidak mungkin. Bagaimana kamu
bisa disini? Sementara…”
“Sssstt, aku tahu kamu pasti mencari-cari
keberadaanku. Aku ingat betul, setiap tanggal 27 kamu selalu mengunjungi toko
ini. Tepat di bagian ini, rak yang belum pernah bergeser dari tempatnya. Aku
tahu kamu menungguku. Kini aku datang menemuimu, seperti janjiku yang pernah
kuucap, Dinda.” Lembutnya suara itu bagai hembusan angin yang menyingkap helai
rambut di ujung telingaku.
“Kau tahu seberapa parah aku merindukanmu
dalam hari-hariku? Seberapa banyak air mata yang bercucuran melalui sudut mata
yang telah lelah menahan perih? Kamu jahat. Kenapa kamu ninggalin aku?” Suaraku
hampir parau beserta linangan air mata yang tak sengaja tertumpah.
Kepalaku terasa berputar-putar sementara
nafas hampir terhenti. Gelap. Sesak.
**
“Dimana aku?” tanyaku sambil bangkit dari
tidur.
“Sudah sadar mbak? Tadi mbak kami temukan
tergeletak pingsan di toko buku, lalu kami membawanya kesini.” Seorang yang
sempat kutahu adalah kasir menjelaskan kejadian singkatnya padaku.
“Terima kasih mbak.” Ucapku pada perempuan
yang terlihat masih belia itu.
Apa yang terjadi padaku? Dimana lelaki tadi
yang membisikkan kata padaku? Aku merindukannya, aku menantinya selama 3 tahun setelah
kejadian yang merenggut nyawanya. Saat itu kami janjian untuk bertemu di toko
buku “Bookstore” pada tanggal 27 Maret 2010. Aku telah menunggunya lama, hampir
satu jam dan belum ada tanda-tanda kemunculannya menemuiku. Tak seperti
biasanya dia melanggar janji. Dua jam berlalu dan dering handphoneku memecah
kejenuhan. Kabar duka seketika menyelimuti hari jadiku dengan kekasihku, Tara. Ia
meninggal dunia 27 Maret 2010 akibat tertabrak bus yang oleng.
“Tara, kau kah tadi yang berbicara padaku?”
Picture from here: bit.ly/17jhZCC
Diikutkan
dalam Prompt #29 Monday Flash Fiction
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih dan selamat datang kembali :)