Detik-detik kian berlalu dan aku masih
memandangnya dari tempatku saat ini. Sengaja kupilih bangku panjang di depan
ruang kelas bernuansa krem, memperhatikan sosok perempuan dengan bandana warna pink di atas rambut sebahunya. Gadis
itu, Ayu Citra Kinara. Gadis yang perlahan menyita seluruh perhatianku padanya hampir
satu tahun lamanya. Gadis manis lemah lembut yang awalnya hanya kukenal melalui
akun facebook yang nge-trend di
kalangan remaja.
Dia tak sedang duduk sendiri di atas gazebo
taman sekolah, melainkan sedang bercanda mesra dengan kekasihnya yang tak lain
dan tak bukan adalah sahabatku, Brian El Fahmi. Namun, aku ingin terus
memandangnya seperti ini. Menahan gejolak cemburu yang tak seharusnya terjadi.
Mencoba menghindari berjuta-juta terkaman rasa yang salah untuk sosok yang
kerap dipanggil Kinara, gadis yang berselingkuh denganku sejak tiga bulan yang
lalu tentu tanpa sepengetahuan sahabatku.
“Aku tahu, aku salah. Kupikir dia bisa
buat aku nyaman seperti saat di sampingmu, mas.” tertegun mendengar pengakuan Kinara
yang tak kusangka-sangka sebelumnya.
“Nyatanya aku seakan hanya dipaksa
mendengarkan setiap kata yang tak lepas dari klub bola favoritnya. Aku nggak
bisa pacaran kayak gini terus. Aku lelah.” butiran air matanya perlahan
menganak sungai lalu menetes melalui sudut mata yang kukagumi binarnya. Spontan
kupeluk dia. Sosok Kinara yang sehari-harinya riang, ramah tamah dan selalu
menampilkan senyum terbaiknya, di benaknya menyimpan kesedihan mendalam dibalik
ketegarannya.
“Kalau saja Kinara tahu, mas sayang
sama adik dari dulu. Jauh sebelum adik pacaran sama sahabat mas. Sampai saat
ini pun masih tersimpan rasa itu, utuh. Jika diizinkan, mas akan selalu sayang
sama adik” Glek! Seketika mulutku bereaksi lebih cepat daripada otakku. Right person but wrong time. Sial.
Aku tak mampu membendung perasaan ini
lagi, dan dalam waktu sepersekian detik aku telah mengkhianati sahabatku
sendiri. Sejak saat itu pula, aku dan Kinara terkadang merencanakan kencan
diam-diam yang sampai saat ini – tiga bulan setelah pengakuan Kinara yang
ternyata juga menyimpan rasa padaku – belum ada yang curiga.
“Mahardika! Tengah hari gini ngelamun
jorok aja sih. Hayo, ketahuan. Hahahaaa.” suara tertawa berisik Brian
mengagetkanku di tengah lamunanku membayangkan hubungan gelapku dengan
pacarnya.
“Ngagetin aja. Mana si Kinara,
kayaknya tadi berduaan sama lo?”
“Tahu tuh. Akhir-akhir ini kayaknya sikapnya
ke gue berubah, Dik.”
“Ah, perasaan lo aja kali.”
Penyesalan terdalam rasanya semakin menghantam
bertubi-tubi. Otak menjadi tak waras akibat hubungan tak sehat antara aku dan Kinara
yang makin lama makin membuatku tak enak hati menatap wajah sahabatku yang kian
sendu. Seharusnya sahabat itu saling mendukung, saling menjaga tawa diantara
keduanya. Bukan saling menusuk dari belakang dan tak seharusnya aku merebut
kebahagiaan sahabatku sendiri, terlebih merebut belahan jiwanya.
Kita kawan bukan lawan. Kita teman
bukan preman. Dan kita sahabat tak seharusnya saling embat. ARGH!
**
Malam ini aku berjanji akan mengajak
Kinara untuk menyaksikan “Semarang Night Carnival” acara tahunan yang digelar
untuk menyambut HUT ke-466 kota Semarang. Event
tersebut mengangkat tema Semarang semarak warna, dimana para peserta pawai ada
yang mengenakan kostum unik khas Kota Semarang, parade drum band, serta
pertunjukan lain.
“Sudah siap berangkat, tuan putri?”
candaku menggoda Kinara yang sangat cantik malam itu. Celana jeans yang
dipadukan dengan blus kembang-kembang ungu muda, positif menambah
keanggunannya. Satu lagi keindahan yang tertangkap sorot mata. Senyum menawan
khas cewek feminimnya itu lho yang bikin hati rasanya mendadak ingin
mencopotkan diri dari tempat persembunyiannya.
“Siap, komandan Dika.” Celetuknya
mantap.
Segera kupacu kendaraanku mengarungi arteri
beraspal menuju pusat kota, lebih tepatnya menuju tempat Tugu Muda berdiri
kokoh di tengah-tengah hiruk pikuknya ibu kota provinsi. Kuoper persneling ke
gigi terendah, jalanan sudah mulai sesak dengan kendaraan. Padat merayap pun
berhenti tak masalah bagiku asalkan ada Kinara. Oh ya, bagaimana dengan Kinara
yang memboncengku? Dia melingkarkan tangannya ke pinggangku, mendekap tubuhku
erat. Rasa hangat seketika menyusuri sel-sel tubuh bersamaan dengan aliran
darah yang setia menjalankan aktivitasnya dan tak pernah mogok kerja. Memang
ini bukan yang pertama kalinya, tapi aku sangat menikmati pelukannya dalam hingar
bingarnya kendaraan yang berlalu lalang melintasi kami. Antusias warga untuk
menonton event tahunan ini juga sangat
besar, akibatnya kami harus berdesak-desakan untuk menyaksikan warna-warni
gemerlapnya peserta karnaval yang mayoritas anak perempuan.
“Wah, keren mas. Itu tuh yang pakai
gaun kupu-kupu, cantik.” Celotehnya dalam riuh kegembiraan saat menyaksikan
kebolehan tari peserta Semarang Night Carnival dalam gaun yang lekat di tubuhnya.
“Mana ada yang lebih cantik daripada
kamu, dik.” Jawabku datar. Aku memang suka menggodanya hingga rona merah pada
pipinya semakin melebar. Make up
alami khas gadis malu-malu.
**
Tuhan, mengapa kau ciptakan bidadari
seindah ini di hidupku dalam cinta yang terlarang? Mengapa aku tak bisa utuh
memilikinya tanpa merasa bersalah telah mencintainya? Mengapa tak dari dulu
saja aku menyatakan perasaanku padanya sebelum termiliki sahabatku sendiri? Terlambat.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Waktu pun juga tak akan bisa
diulang, tidak akan pernah bisa. Penyesalan memang akan tetap terjadi selama
masih dihadapkan pada sebuah pilihan.
“Bertahan atau melepaskan.”
Pilihan tersulit yang sangat
mengganggu konsentrasi belajarku akhir-akhir ini. Lalu kuputuskan hari ini aku
akan memilihnya, meski sulit. Aku akan menjawab semua pertanyaan hati yang semakin
menggema. Rasa bersalah yang kian menggerogoti aliran napas menjadi sesak. Ya,
aku putuskan untuk memilih. Aku akan melepaskannya, aku tak akan mengusik kebahagiaan
sahabatku lagi.
**
“Brian, tumben makan sendirian?
Biasanya sama Kinara.” Aku memposisikan diri duduk di samping Brian yang sedang
melahap makanannya setelah memesan siomay favoritku pada ibu penjaga kantin.
Satu menit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh
menit.
Kami diam satu sama lain. Brian belum
juga menjawab pernyataanku tadi. Beberapa sendok siomay kini sudah memasuki perutku.
Rasanya aku sedang tak memiliki selera untuk menghabiskannya.
“Malam Minggu yang lalu kamu kemana
aja, Dik?” Tanyanya yang spontan membuat aku tersedak kentang rebus yang baru
saja kukunyah.
“Kenapa kaget? Aku tahu, kamu jalan
sama Kinara kan?”
“Tahu dari mana kamu? Jangan
sembarangan.” Ungkapku seakan menyembunyikan rapat-rapat semua hal tentang
perselingkuhanku dengan Kinara. Aku tahu aku salah, Tuhan. Tapi, aku tidak
ingin hubungan persahabatan ini menjadi runyam hanya karena kami mencintai satu
wanita yang sama. Tuhan, aku mohon jangan biarkan Kinara atau Brian terluka
atas tindakanku yang keterlaluan ini.
“Sudahlah, Dik. Aku sudah mengetahui
semuanya. Tadi pagi Kinara sudah memutuskan hubunganku dengannya. Tolong
bahagiakan dia.” Lalu pergi.
Aku tak mengerti apa yang dikatakannya
barusan, tapi kulihat matanya semakin layu. Aku tak mengejar penjelasannya,
hanya ada satu tanya di benakku. Kinara.
**
“Ra, apa maksud kamu bilang mau putus
dari aku?”
“Jawab, Ra. Jangan diem aja. Aku minta
maaf kalau aku banyak salah sama kamu. Aku bisa kok, coba perbaiki semuanya.
Tolong, aku masih ingin menikmati masa indah bersamamu, Kinara.”
“Maaf, Brian. Kurasa kita tak bisa
menentukan kemana arahnya hati akan memutuskan untuk jatuh cinta. Kita tak bisa
menduga pada pelabuhan hati sebelah mana rasa cinta akan tertambat. Terima
kasih sudah mengizinkanku singgah di hatimu. Tidak semua rasa cinta akan
membuahkan hasil kemenangan.”
“Baiklah, jika itu yang bisa membuatmu
bahagia. Lalu apakah kau sudah menemukan tambatan hati yang baru, Ra?”
“Kurasa sudah.”
“Siapa?”
“Mahardika.”
Kata demi kata yang mengalir dari penjelasan
Kinara semakin membuatku terperanjat pada sosoknya. Nada-nada sendu melesat
seakan memberikan pilihan lagi padaku antara bertahan atau melepaskan. Namun, sekejap
aku teringat pada janji yang telah kuungkap pada diriku sendiri. Aku harus
melepaskannya, demi sahabatku, demi kebahagiaannya.
“Aku memang sayang sama kamu, Kinara.
Tapi aku nggak sanggup terus-terusan jadi bayang-bayang orang ketiga antara
kamu sama Brian. Tak semua cerita cinta berakhir sempurna seperti yang kita
impikan, Ra. Maaf, aku maunya kita terlepas.” Aku membalikkan punggungku, menahan
air mata yang rasanya ingin muncul dari persembunyiannya.
“Apa mas nggak sadar, aku udah
perjuangin kejelasan hubungan kita. Aku udah ngaku semuanya di depan Brian.
Tapi, mas nggak hargai yang kulakukan ini lalu pergi begitu saja ninggalin aku?
Aku bukan boneka yang bisa dipermainkan begitu saja, mas. Aku punya hati.” Ah,
aku tak tega melihatnya bercucuran air mata. Aku tak tega meninggalkannya,
mengingat aku juga sangat menyayanginya. Terkadang air mata adalah kekuatan
terakhir yang kita miliki.
“Mas Dika nggak bakal ninggalin adik,
janji.” Bisikku sembari menenangkan tangis Kinara di pundakku.
Taman sekolah, gazebo, dan rerumputan
seolah menjadi saksi kebahagiaan hubunganku dan Kinara yang sempat terganjal
pada status cinta terlarang. Di tempat ini, aku biasa menyaksikan Kinara dan
Brian bercengkerama dalam status berpacaran. Kini aku telah mengambil alih
posisi Brian dan menggantikannya untuk mendampingi Kinara. Lalu bagaimana
dengan Brian?
“Ciyee, yang baru jadian. Senyum-senyum
aja dari tadi, Ra?” Tanya Brian sambil tersenyum ke arah kami.
“Yang nampak tersenyum ini sebenarnya
sudah puas menangis, tauk.” Celetuk Kinara yang membuatku geli.
“Dijaga tuh, Dik. Jangan sampai
kecolongan orang lain. Jaga baik-baik ya hubungan kalian.”
Rasanya aku tak perlu mengkhawatirkan
sahabatku, kurasa dia sudah bisa menerima posisiku sebagai pacar Kinara. Mungkin
aku akan mengenalkan Brian dengan adik sepupuku pecinta klub sepakbola Chelsea
F.C juga. Kurasa tidak ada salahnya menjodohkan mereka.
Kepada siapapun yang sedang jatuh
cinta diam-diam, tell him/her soon,
before it’s too late.
Menjadi orang ketiga bukanlah
keinginan yang sudah diniatkan oleh hati. Status tersebut datang dengan
sendirinya, mengalir bersama perasaan-perasaan yang melekat erat pada
seseorang. Cinta terlarang, kata kebanyakan orang. Lalu bagaimana dengan kata
nyaman yang tersirat dalam sebuah rasa? Sekali lagi kutegaskan.
“Karena hati tak perlu memilih, ia
selalu tahu kemana harus berlabuh.” – Perahu Kertas.
#LoveatSchool
Author : Neni Safitri
Facebook : Neni Safitri
Twitter : @nhenie
source picture : http://bit.ly/199Gp2V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih dan selamat datang kembali :)