Judul Buku : Cerita Cinta Kota
Penulis : Dian
Nafi, Dita Hersiyanti, Dwitasari, Fakhrisina Amalia Rovieq, Ismaya Novita
Rusady, Mario Mps, Nita Aprilia, Noury, Rina Wijaya, Rizky Suryana Siregar,
Winda Az Zahra
Penerbit : PlotPoint Publishing
Cetakan : Pertama, Februari 2013
Jumlah Halaman : x + 216 halaman
Cerita Cinta Kota
Kota
dan Hati Tumbuh dengan Cerita
Buku ini yang membuat
saya pertama kali tertarik untuk membeli dan membacanya yaitu tentang tema dan
isinya, dimana buku tersebut menggambarkan tentang sebuah kota di Indonesia dan
cerita di dalamnya. Sisi menarik nan unik dari masing-masing kota yang menggambarkan
tentang peristiwa dibalik beberapa tempat wisata maupun tujuan yang menjadi ciri
khas daerah tersebut, dikemas rapi dalam satu buku. Terdapat 11 cerpen dari 11
penulis dengan masing-masing cerita di kotanya, termasuk Dwitasari (penulis
novel Raksasa dari Jogja) dalam cerpen berjudul ‘sepatu’ yang berlatar di
Depok.
Cerita Cinta Kota
yang paling menarik bagi saya pribadi yaitu cerpen dengan judul “Memoar Senja”.
Sebuah cerpen karya Fakhrisina
Amalia Rovieq menggunakan setting di
Palangkaraya. Dengan tagline “MUNGKIN
bahagia itu seharusnya memang milik kita.” Dalam cerpen tersebut, penulis menyebutkan
berbagai tempat indah di Palangkaraya, seperti Jembatan Kahayan, Danau Tahai,
Bukit Tangkiling, Taman Wisata Kum-kum, dan Bundaran Besar. Akan tetapi, dalam
alurnya penulis menceritakan dua orang sahabat bernama Reihan dan Elis yang
selalu menghabiskan belasan tahun usianya di halte dekat Taman Pancasila
menjelang senja tiba. Sosok Elis yang ternyata sedang dalam penantian
sahabatnya, Reihan yang meninggal 5 tahun lalu. Terbayang-bayang oleh kata-kata
Reihan yang mencintainya juga. Reihan meninggal dalam kecelakaan di Bundaran
Besar, saat ia akan menemui Elis.
Cerpen yang alurnya sangat membuat kejutan di ending. Meskipun bukan
happy ending, tapi penulis mampu membawa pembaca mengetahui sebagaimana kesedihan
yang dialami oleh Elis.
Kelebihan dari buku berjudul Cerita Cinta Kota sudah jelas mengemukakan
indahnya kota yang ditumbuhkan dengan berbagai peristiwa cinta dari sang
penulis. Namun, dalam setiap kelebihan sudah pasti ada kekurangan. Sudut pandang
pada ke-sebelas bab semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai
pelaku utama, mungkin lebih berwarna jika ada yang mengangkat cerita
menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Tetapi, keseluruhan dari isi buku cukup bagus. Sengaja mengajak pembaca
untuk menghidupkan kota-kota di Indonesia. Kota yang memiliki beragam kekhasan
dan beragam karakter. Jika kita mempunyai budaya yang kaya di negeri sendiri,
lalu untuk apa menghabiskan berjuta-juta rupiah untuk berlibur di negeri orang?
Bukankah cinta tanah air merupakan suatu sikap nasionalisme yang harus
dijunjung tinggi oleh setiap warga negara?
Sekian dan terima kasih :)
Aaaaak Memoar Senja :')
BalasHapus