Let’s see :D
“Aku pernah jadi yang paling bahagia
dalam rangkul pelukmu. Aku pernah berada dalam keadaan baik-baik saja saat
jemarimu masih erat menggenggam jemariku. Kita pernah merasa bahwa yang aku dan
kamu jalani adalah yang selama ini kita cari-cari, kebahagiaan yang nyata
meskipun kita berbeda.
Sudah lewat sembilan minggu sejak
kepergian kamu dan ingatanku masih sangat tajam mengenang kita yang dulu pernah
ada. Aku pernah kau buat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan
singkat, dalam setiap sambungan telepon, dan dalam setiap tatap mata. Saat itu,
aku percaya bahwa kamulah yang kelak akan membukakan mataku tentang cinta,
mengubah persepsiku bahwa cinta tak selalu luka dan dusta. Hadirmu membuat aku
percaya, bahwa kita sedang menuju bahagia, aku dan kamu sedang dalam perjalanan
menuju ujung pencarian kita. Tapi, akupun yang selalu bicara tentang cinta;
ternyata bisa juga salah.
Aku tak tahu, apakah kata sayang yang
selama ini kau bisikan dalam setiap percakapan kita, hanyalah bualan yang kau pikir
bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji, Sayang. Ketika kuceritakan
tentang dia yang pernah melukaiku, kamu berjanji tak akan berikan luka yang
sama padaku. Kalau aku diizinkan mengungkit segalanya, lantas mengapa kau pergi
ketika aku sedang cinta-cintanya?
Setelah kepergianmu, kamu tak pernah
lagi pulang. Bahkan untuk sekadar tahu kabarku, bahkan untuk sedikit saja
menyapaku; kamu tak mau. Kita berpisah tanpa kata pisah. Kita menjauh tanpa
pernah tahu yang sesungguhnya terjadi. Rasanya ingin kukatakan berkali-kali
bahwa bukan ini yang kumau, bahwa bukan kepergianmu yang selama ini kutunggu.
Kubiarkan kau terus mendekatiku, kuterima kau dalam keadaan terburukmu,
kurangkul kau dalam doa dan nyata; tapi nyatanya kau bikin aku begini tersiksa.
Aku menunggu saat-saat aku dan kamu
bisa melebur jadi satu. Saat aku dan kamu melupakan perbedaan kita, saat-saat
aku tak peduli berapa tebal dompetmu, saat aku tak peduli dengan kendaraan yang
kau tunggangi. Aku sudah berada dalam titik itu, tapi kau terus diam, tak ingin
kuajak berjalan dan melangkah terlalu jauh. Jika selama ini semua terasa begitu
manis, mengapa kau berikan aku sesuatu yang sangat pahit di akhir, Sayang?
Sembilan minggu setelah kepergian kamu.
Tak banyak berubah. Langitku masih sama, mendungku masih ada. Sakitku masih
parah, lukaku masih merah. Hatiku masih lebam, ingatanku masih keram. Kamu
datang dan pergi sesuka hati, membiarkanku jadi penonton dalam dramamu. Kamu
berganti-ganti topeng sesuka hati, membiarkanku kebingungan membedakan dirimu
yang sesungguhnya masih begitu abu-abu.
Tak pantas lagi mengharapmu kembali,
kamu yang sembilan minggu lalu masih begitu manis, tiba-tiba sekarang jadi
begitu sadis. Kamu yang kukenal baik, lugu, dan tak banyak tingkah; kini sudah
berganti wajah. Aku tak paham pria macam apa yang dulu kucintai. Ketololanku
semakin lengkap ketika kutahu, kamu begitu mudah punya yang baru, sementara di
sini aku masih sibuk menyembuhkan lukaku.
Di antara rasa lelah menunggu, di
antara kesabaran merindu; ternyata aku masih berani merapal namamu dalam doaku.
Selamat sembilan minggu, Sayang. Kapan pulang?”
ini gue bgt!!
BalasHapus