Selasa, 25 September 2018

Beragam Cerita di Balik Pemukiman Padat Kampung Mataram


Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah sekaligus menjadi kota terbesar kelima di Indonesia, Semarang tak lepas dari peran perkampungan-perkampungan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.


Minggu pagi, 2 September 2018, bersama Bersukaria diajak untuk jelajah seputar Mataram. Bersukaria adalah semacam tour & travel di Kota Semarang yang salah satu programnya yaitu walking tour / tur jalan kaki. Setiap weekend mereka mengadakan walking tour dengan rute yang berbeda-beda dengan story teller yang bergantian.

Di rute Mataram, kami dipandu oleh Mas Ardhi dengan titik kumpul di seberang Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto. Di pagi hari yang hawanya enak banget buat melanjutkan ke alam mimpi, satu persatu dari peserta walking tour sebanyak 9 orang berdatangan. 



Setelah perkenalan diri masing-masing, Mas Ardhi mulai menjelaskan bahwasanya tempat sekarang kita berpijak di Jl. Dr. Cipto  dulunya bernama Mlaten — salah satu pemukiman orang yang cukup berada.
"Salah satu contoh rumahnya ada di sebelah sana. Dulu rumah itu punya halaman yang luas." lanjut Mas Ardhi sambil menunjuk ke salah satu rumah yang sepertinya tak berpenghuni.


Bangunan penting yang bisa kita lihat di salah satu ruas Jl. Dr. Cipto yaitu Rumah Sakit Panti Wilasa. Secara kasat mata, mungkin tidak ada yang menarik dari bangunan rumah sakit ini, tapi siapa kira ada sejarah panjang di baliknya?

Rumah Sakit Panti Wilasa kan ada 2 cabang nih, di Dr. Cipto dan di Citarum, kira-kira lebih duluan mana dibangunnya?
Jawabannya lebih dulu gedung Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto.
Diinisiasi tahun 1948 dan diresmikan pada tanggal 19 Januari 1950 sebagai Klinik Bersalin Panti Wilasa (yang mengandung arti Rumah Cinta dan Kasih Sayang) dan dikepalai oleh Zr. AJ. Heidema.

Pada tahun 1956 dibuka lembaga pendidikan untuk mendidik pembantu bidan.
Kemudian baru pada tahun 1966 muncullah rencana sekaligus pelaksanaan proyek pembangunan RS Panti Wilasa Citarum. Tiga tahun kemudian dilakukan peletakan batu pertama RS Panti Wilasa Citarum. Singkat cerita, pada tahun 1974 pelayanan di komplek Jl. Dr. Cipto diresmikan menjadi RSU Panti Wilasa. (pantiwilasa.com)

Persis di sebelah selatan RS Panti Wilasa Dr. Cipto, terlihat rumah dengan model sama yang disebut rumah deret. Sekilas memang tak begitu kelihatan karena di bagian depan tertutup oleh pepohonan dan parkir mobil pengunjung RS Panti Wilasa. Rumah deret ini pun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya golongan D.


 
Belum ada data yang valid kapan dibangunnya, perkiraan sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-19. Di sebelahnya adalah bekas penjara Mlaten. (Sekarang Rupbasan kelas 1 Semarang). Kemungkinan rumah deret di sampingnya tadi merupakan bagian dari fasilitas penjara Mlaten.


Menyeberang di padatnya lalu lintas Jl. Dr. Cipto, tepat di depan Rupbasan, tibalah kami di tujuan berikutnya. Berbeda dengan 2 bangunan yang sebelumnya terkesan modern, tempat ini bernama Sobokartti.

Terlihat sangat khas bangunan Jawa dari atapnya yang mempunyai 3 tingkat, seperti masjid-masjid Jawa pada umumnya. Di dalam bangunan inti juga terdapat 4 buah soko guru serta pelataran. Adapun pendopo yang terpisah dengan bangunan inti dan masih sering digunakan untuk latihan tari anak-anak maupun dewasa.


Pembangunan Sobokartti diinisiasi oleh Ir. Herman Thomas Karsten dan Pangeran Prangwedana (kelak menjadi KGPAA Mangkunegara VII). Ketika itu kraton-kraton Jawa sedang terjadi proses demokratisasi berupa diijinkannya kesenian kraton (yang semula eksklusif untuk lingkungan kraton) diajarkan dan digelar di luar dinding kraton.

Untuk mendukung gagasan tersebut, dibuatlah pertemuan yang dihadiri antara lain Burgemeester Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari Kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar "De Locomotief". Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama "Sobokartti" (tempat berkarya).


Sobokartti menjadi saksi sejarah pertempuran 5 hari di Semarang. Sebanyak 18 pemuda gugur di sana ketika berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang menjadikan Sobokartti sebagai markas. Jenazah mereka dimakamkan dalam satu lubang di kawasan Sobokartti, kemudian pada tahun 1960, 12 jenazah dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang sebagai 'Pahlawan Tidak Dikenal', sementara 6 jenazah lainnya dimakamkan kembali oleh keluarga masing-masing.

***

Menjauh dari Sobokartti, kami berjalan terus ke timur, mengamati ruko-ruko di Kawasan Dargo yang belum begitu ramai. Meski ada jalan tembus yang lebih dekat dengan 'the real Mataram', kami diajak berputar-putar dahulu seolah Mas Ardhi menginginkan peserta walking tour untuk berinteraksi dengan perkampungan-perkampungan yang dilewati. Beberapa rumah yang khas Belanda masih bisa ditemukan, meski sudah ada percampuran dengan gaya modern.


Beberapa menit kemudian sampailah kita di jalan yang selalu sibuk. Jalan ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, bernama Jl. Mataram. Menurut mas Ardhi, belum ada data yang valid kenapa dinamakan Mataram. Apakah ada hubungannya dengan tentara Mataram? Apakah ada kesamaan sejarah dengan Matraman di Jakarta?


Di sepanjang Mataram, dulunya dibangun jalur trem milik Samarang - Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang menghubungkan Semarang Djoernatan - Djomblang dengan jarak 4 kilometer. Selengkapnya mengenai jalur kereta api dan trem di Semarang, bisa ikut walking tour rute Spoorweg atau boleh juga baca-baca di link berikut ini.

Penamaan Jl. MT. Haryono baru ada setelah kemerdekaan. Kini, di sisi kanan kiri jalan utama berjajar ruko-ruko yang menjual segala macam produk. Di belakangnya, di antara gang-gang yang tak begitu lebar, terdapat perkampungan padat penduduk. Toponimi / penamaan daerah tersebut berdasarkan profesi masyarakatnya.

Dengan salah satu peserta walking tour, kami berandai-andai mungkinkah penyebutan nama-nama kampung yang berdasarkan profesi warganya ini berperan dalam suatu proses?


Misal:
·         Jagalan ; diambil dari profesi warganya yang sebagian besar menjadi tukang jagal / pemotong hewan seperti sapi / kambing.
·         Kentangan ; dahulu menjadi tempat orang-orang menjemur kulit, sebutan Kentangan karena panasnya ngentang-ngentang (dalam Bahasa Indonesia semacam panas banget). Tapi beberapa tulisan di internet menyebut bahwa Kentangan dulunya karena banyak orang menanam kentang.
·         Kulitan ; dahulu daerah ini menjadi tempat pengrajin kulit.

Bukankah dari 3 kampung itu bisa dianggap sebagai suatu proses dari hewan yang dijagal, diambil kulitnya untuk dijemur, kemudian kulitnya dijadikan kerajinan?
 
"Tapi misalkan kalau mau cari malingan atau ngutangan, nggak ada ya. Walaupun itu juga kadang jadi profesi sih" canda mas Ardhi.

Menyeberang Jl. MT. Haryono, masuk ke kampung Grajen (dahulu menjadi tempat penggergajian / tempat pengumpulan serbuk-serbuk gergaji), berdiri sebuah klenteng yang terbilang masih muda dan berbeda dengan klenteng-klenteng yang ada di Pecinan.


Perbedaan itu ada pada atapnya yang bertingkat, pintu klenteng yang hanya ada satu semacam rolling door, serta tidak menggunakan nama Hookian melainkan disebut nama daerahnya yaitu Klenteng Grajen.

Setelah ini kami dibawa untuk menyusuri jalan-jalan kampung yang benar-benar beragam. Citra Semarang sebagai kota multicultural tersaji di sini. Seperti misalnya rumah-rumah orang Tionghoa berdekatan dengan masjid, atau rumah kuno Semarangan.

 
Atau bisa juga ditemukan di salah satu sudutnya, secuil rumah Verbetering. Berupa rumah deret yang bentuknya mirip. Kampung verbetering ini muncul awal abad ke-20 seiring dengan kebijakan politik etis, pemerintah Belanda memberi perhatian pada kampung dalam bentuk peningkatan infrastruktur juga dalam mengatasi masalah kesehatan dan sanitasi.


Keluar masuk perkampungan, akhirnya sampailah kita di salah satu sudut gang yang cukup instagramable. Pada mulut gang tertulis Kampung Kulitan. Bicara mengenai Kampung Kulitan tak lepas dari salah satu saudagar dan tuan tanah pribumi dari Semarang. Ia adalah Tasripin, seorang pengusaha kopra, kapuk, dan juga memiliki bisnis kulit yang dijalankan di Kampung Kulitan ini pada permulaan abad ke-19. Kampung Kulitan dahulu juga disebut sebagai 'Kerajaan Tasripin' karena ia beserta segenap kerabatnya pernah tinggal di sini.


Meski tak begitu luas dibanding kampung yang lain, beberapa rumah khas Semarangan dengan bahan kayu jati bisa kita lihat langsung di sepanjang Kampung Kulitan.



Tak hanya menarik dalam hal arsitektur bangunan, kampung-kampung di Mataram juga tak mau kalah dalam hal kuliner. Di salah satu gang misalnya, ada penjual lumpia atau penjual moachi yang cukup terkenal di Semarang.
Selisih beberapa gang, sebagian besar warganya berdagang olahan kambing. Tempat itu bernama Kampung Bustaman, yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Spesialnya dari gulai tersebut terletak pada dagingnya yang menggunakan daging bagian kepala serta tanpa santan.


Memasuki Kampung Bustaman, bau prengus kambing senantiasa terhirup sepanjang jalan. Beberapa warga terlihat sedang mengolah daging kambing.
Bisnis kambing di Kampung Bustaman sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Pelopornya ada 4 orang yaitu H. Marzuki, H. Ibrahim, Khayat, dan Ny. Klentheng. Bedanya, zaman dulu kambing-kambing yang akan dipotong harus dibawa ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH), jika tidak maka akan dikenakan sanksi / denda.
 
Kampung Bustaman juga tak lepas dari salah satu tokoh pelukis terkenal yaitu Raden Saleh Sjarif Boestaman. Masa kecilnya, beliau pernah tinggal di sini. Pada saat usianya 10 tahun, oleh pamannya — yang menjabat Bupati Semarang diserahkan kepada Belanda untuk belajar. Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda.


Raden Saleh dikenang terutama karena lukisan historisnya 'Penangkapan Pangeran Diponegoro' yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan Belanda kepada Pangeran Diponegoro untuk mengakhiri Perang Jawa pada tahun 1930.
Sebelumnya sudah ada pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro, tapi Raden Saleh seolah tidak setuju dengan penggambaran Pieneman, kemudian beliau memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisannya.

Seperti yang dikatakan mas Ardhi di awal-awal kalau rute Mataram ini tidak banyak bangunan-bangunan bersejarah / cagar budaya yang bisa diulik.
Namun, Mataram dengan pesonanya yang tersembunyi di balik ruko-ruko dan pemukiman padat penduduk, menyimpan potensi tersendiri di Kota Semarang. Bagi pecinta rumah-rumah kuno jelas mereka akan terkagum-kagum dengan keaslian serta ornamen-ornamen beberapa rumah warga.
Syaratnya cuma mata harus jeli melihat ke kanan dan ke kiri. Karena banyak juga bangunan-bangunan modern yang berdiri di area perkampungan Mataram.



Untuk Semarang,
tetaplah harmonis :)

5 komentar:

  1. kreennn kakk,, terima kasih untuk pengetahuannya tentang sejarah mataram,, dtunggu post2 slanjutnya yaa kak

    BalasHapus
  2. DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
    BONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
    BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
    BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
    Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
    Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.biz
    UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
    WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^

    BalasHapus
  3. DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
    BONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
    BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
    BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
    Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
    Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.biz
    UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
    WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^

    BalasHapus

Terima kasih dan selamat datang kembali :)