Kota Magelang memang tak terlalu luas wilayahnya, hanya 18,12 km2. Jika dibandingkan dengan kota tempat tinggal saya di Semarang, mungkin hanya menjadi 1 atau 2 kecamatan saja. Meski demikian, Kota Magelang tak kalah pamor daripada kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Letaknya yang strategis (menjadi jalur utama Semarang – Yogyakarta) membuat kota ini kian hari makin berkembang. Banyak event yang diselenggarakan guna menggaet wisatawan seperti Pameran Warisan Dunia 2016, Magelang Tempo Doeloe, dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Sekitar seminggu yang lalu, saya mendapat undangan dari Disporabudpar Kota Magelang untuk mengikuti One Day Tour dalam rangka Festival Tidar 2016. Terima kasih atas kepercayaannya telah mengundang saya.
Hari Jumat, 9 Desember 2016, bersama dengan para peserta lain seperti bloger, admin social media, dan penggiat wisata / biro perjalanan, menyaksikan Ritual Ruwat Bumi Gunung Tidar. Pernahkah Anda mendengar nama Tidar? Tidar bukan hanya nama sebuah terminal bus di Kota Magelang. Lebih dari itu, Tidar adalah nama sebuah bukit di tengah-tengah Kota Magelang yang kemudian menjadi ciri khas kota ini. Bukit tersebut lebih dikenal dengan nama Gunung Tidar.
Gunung Tidar dipercaya sebagai “Pakunya Tanah Jawa”. Hal ini tak bisa lepas dari legenda tentang Syaikh Subakir yang berhasil menakhlukkan Gunung Tidar setelah mengalahkan jin penunggu Gunung Tidar yang dipimpin oleh Kyai Semar. Meski tingginya hanya sekitar 503 meter dari permukaan laut, tapi cukup menguras tenaga dengan meniti anak tangga yang ada. Di tengah perjalanan, pengunjung akan menjumpai makam Kyai Sepanjang dan Makam Syaikh Subakir. Memang, Gunung tidar ini dikenal sebagai wisata ziarah. Meski begitu pengunjung dihimbau untuk tidak melakukan perbuatan syirik.
Pengunjung tak perlu takut tersesat karena di sepanjang jalan telah disediakan jalan setapak berundak sampai di puncak. Untuk jalur masuk dan keluar berbeda. Di beberapa tempat juga telah tersedia tempat duduk untuk beristirahat. Puncak Gunung Tidar adalah semacam tanah datar seperti lapangan yang di tengahnya terdapat sebuah tugu dengan simbol huruf “Sa” dalam aksara jawa pada ketiga sisinya, yang bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Di ujung juga terdapat tugu menjulang yang dibangun oleh AKMIL Magelang. Di sisi lain, pengunjung bisa menemukan petilasan Pangeran Purboyo di bawah pohon beringin besar dan makam Kyai Semar yang bentuknya seperti kerucut besar berwarna kuning.
Oke, sudah cukup tentang Gunung Tidarnya, mari bahas event yang terbilang baru di Kota Magelang ini… :D
Festival Tidar 2016 adalah kali kedua diselenggarakan di Kota Magelang. Tahun ini, acara digelar selama 3 hari berturut-turut mulai Jumat, 9 Desember 2016 hingga Minggu, 11 Desember 2016. Berbagai kegiatan diadakan untuk memeriahkan festival ini, salah satunya yaitu Ritual Ruwat Bumi Gunung Tidar yang diselenggarakan di hari pertama setelah usai kegiatan resik-resik Gunung Tidar.
Ritual Ruwat Bumi Gunung Tidar diikuti oleh tokoh masyarakat, juru kunci Gunung Tidar, kelompok UPTD, dan masyarakat dari 17 kelurahan di Kota Magelang. Masing-masing kelurahan mengirimkan wakilnya sebanyak 9 orang, boleh laki-laki atau perempuan dengan memakai pakaian tradisional. Masing-masing kelurahan juga membawa tumpeng beserta ingkung dan ubo rampenya. Acara dimulai pukul 13.30 dengan melakukan kirab terlebih dahulu dari lembah Gunung Tidar menuju puncak. Di puncak, telah disediakan tenda untuk menampung rombongan kirab beserta tumpeng-tumpengnya. Tumplek blek laki-laki, perempuan, tua, muda, berbaur menjadi satu di puncak Gunung Tidar.
Selain tumpeng dari masing-masing kelurahan, adapun dua buah tumpeng berukuran besar yang telah disediakan. Tumpeng tersebut diberi nama tumpeng lanang dan tumpeng wadon, lengkap dengan ingkung serta lauk pauknya.
Ritual Ruwat Bumi Gunung Tidar dimulai setelah semua rombongan kirab telah sampai di puncak. Pembawa acara menggunakan bahasa jawa krama inggil untuk membacakan rundown acara. Diawali dengan Tari Caraka Walik yang merupakan bagian dari prosesi dengan falsafah menghilangkan sukerta atau kejelekan dan kejahatan sehingga diharapkan Kota Magelang ayem tentrem gemah ripah loh jinawi. Tari ini dibawakan oleh 5 orang penari puteri, meski kenyataannya 1 orang adalah laki-laki yang didandani sebagai perempuan. Namun kenyataannya mereka sama-sama menari dengan sangat luwes. Aura mistis terasa ketika masing-masing penari di atas sanggulnya ditancap dupa yang menyala. Tak bisa dipungkiri, aroma dupa tercium dari berbagai penjuru.
Acara selanjutnya yaitu doa bersama, disusul dengan pemotongan tumpeng serta kembul bujono atau makan bersama. Yang menarik di sini adalah tak hanya rombongan yang mengikuti kirab saja yang bisa merasakan makan bersama tetapi seluruh masyarakat yang hadir juga boleh menikmatinya. Malah sebagian besar orang menawari kami yang belum mengambil makanan.
Terlepas dari aura-aura mistis di tempat ini, pengunjung bisa menikmati suasana yang masih alami. Di beberapa titik, pengunjung juga bisa melihat panorama alam – khususnya Kota Magelang dan sekitarnya – yang menakjubkan. Kapan lagi berada di tengah-tengah kota tapi bisa menghirup udara segar kalau bukan di Gunung Tidar?
Wah, dapat undangan ya mbak Nhe? keren dah, keren,,,,
BalasHapusItuloh tumpengnya, menggoda sekali buat dimakan, hehehe
Ingkungnya lebih menggoda, mas :D
Hapusasyik yaa bisa ikut famtrip kayak gini :D
BalasHapusitu puncak gunung tidar luas banget yaa...bisa buat main bola..hahhaha
Bisa banget buat main bola, hehee :D
HapusWah pasti seru banget ya mbak :D
BalasHapus