Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah sekaligus menjadi kota terbesar kelima di Indonesia, Semarang tak lepas dari peran perkampungan-perkampungan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.
Minggu pagi, 2 September
2018, bersama Bersukaria diajak untuk jelajah seputar Mataram. Bersukaria
adalah semacam tour & travel di Kota Semarang yang salah satu programnya
yaitu walking tour / tur jalan kaki. Setiap weekend mereka mengadakan walking
tour dengan rute yang berbeda-beda dengan story teller yang
bergantian.
Di rute Mataram, kami
dipandu oleh Mas Ardhi dengan titik kumpul di seberang Rumah Sakit Panti Wilasa
Dr. Cipto. Di pagi hari yang hawanya enak banget buat melanjutkan ke alam
mimpi, satu persatu dari peserta walking tour sebanyak 9 orang
berdatangan.
Setelah perkenalan diri masing-masing, Mas Ardhi mulai menjelaskan bahwasanya tempat sekarang kita berpijak di Jl. Dr. Cipto dulunya bernama Mlaten — salah satu pemukiman orang yang cukup berada.
Setelah perkenalan diri masing-masing, Mas Ardhi mulai menjelaskan bahwasanya tempat sekarang kita berpijak di Jl. Dr. Cipto dulunya bernama Mlaten — salah satu pemukiman orang yang cukup berada.
"Salah satu contoh
rumahnya ada di sebelah sana. Dulu rumah itu punya halaman yang luas."
lanjut Mas Ardhi sambil menunjuk ke salah satu rumah yang sepertinya tak
berpenghuni.
Bangunan penting yang
bisa kita lihat di salah satu ruas Jl. Dr. Cipto yaitu Rumah Sakit Panti
Wilasa. Secara kasat mata, mungkin tidak ada yang menarik dari bangunan rumah
sakit ini, tapi siapa kira ada sejarah panjang di baliknya?
Rumah Sakit Panti Wilasa
kan ada 2 cabang nih, di Dr. Cipto dan di Citarum, kira-kira lebih duluan mana
dibangunnya?
Jawabannya lebih dulu
gedung Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto.
Diinisiasi tahun 1948 dan
diresmikan pada tanggal 19 Januari 1950 sebagai Klinik Bersalin Panti Wilasa
(yang mengandung arti Rumah Cinta dan Kasih Sayang) dan dikepalai oleh Zr. AJ.
Heidema.
Pada tahun 1956 dibuka
lembaga pendidikan untuk mendidik pembantu bidan.
Kemudian baru pada tahun
1966 muncullah rencana sekaligus pelaksanaan proyek pembangunan RS Panti Wilasa
Citarum. Tiga tahun kemudian dilakukan peletakan batu pertama RS Panti Wilasa
Citarum. Singkat cerita, pada tahun 1974 pelayanan di komplek Jl. Dr. Cipto
diresmikan menjadi RSU Panti Wilasa. (pantiwilasa.com)
Persis di sebelah selatan
RS Panti Wilasa Dr. Cipto, terlihat rumah dengan model sama yang disebut rumah
deret. Sekilas memang tak begitu kelihatan karena di bagian depan tertutup oleh
pepohonan dan parkir mobil pengunjung RS Panti Wilasa. Rumah deret ini pun
sudah ditetapkan sebagai cagar budaya golongan D.
Belum ada data yang valid
kapan dibangunnya, perkiraan sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-19. Di
sebelahnya adalah bekas penjara Mlaten. (Sekarang Rupbasan kelas 1 Semarang).
Kemungkinan rumah deret di sampingnya tadi merupakan bagian dari fasilitas
penjara Mlaten.
Menyeberang di padatnya
lalu lintas Jl. Dr. Cipto, tepat di depan Rupbasan, tibalah kami di tujuan
berikutnya. Berbeda dengan 2 bangunan yang sebelumnya terkesan modern, tempat
ini bernama Sobokartti.
Terlihat sangat khas
bangunan Jawa dari atapnya yang mempunyai 3 tingkat, seperti masjid-masjid Jawa
pada umumnya. Di dalam bangunan inti juga terdapat 4 buah soko guru serta
pelataran. Adapun pendopo yang terpisah dengan bangunan inti dan masih sering
digunakan untuk latihan tari anak-anak maupun dewasa.
Pembangunan Sobokartti
diinisiasi oleh Ir. Herman Thomas Karsten dan Pangeran Prangwedana (kelak menjadi
KGPAA Mangkunegara VII). Ketika itu kraton-kraton Jawa sedang terjadi proses
demokratisasi berupa diijinkannya kesenian kraton (yang semula eksklusif untuk
lingkungan kraton) diajarkan dan digelar di luar dinding kraton.
Untuk mendukung gagasan
tersebut, dibuatlah pertemuan yang dihadiri antara lain Burgemeester
Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari
Kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar "De Locomotief". Dalam
pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama
"Sobokartti" (tempat berkarya).
Sobokartti menjadi saksi
sejarah pertempuran 5 hari di Semarang. Sebanyak 18 pemuda gugur di sana ketika
berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang menjadikan Sobokartti sebagai
markas. Jenazah mereka dimakamkan dalam satu lubang di kawasan Sobokartti,
kemudian pada tahun 1960, 12 jenazah dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri
Tunggal Semarang sebagai 'Pahlawan Tidak Dikenal', sementara 6 jenazah lainnya
dimakamkan kembali oleh keluarga masing-masing.
***
Menjauh dari Sobokartti,
kami berjalan terus ke timur, mengamati ruko-ruko di Kawasan Dargo yang belum
begitu ramai. Meski ada jalan tembus yang lebih dekat dengan 'the real
Mataram', kami diajak berputar-putar dahulu seolah Mas Ardhi menginginkan
peserta walking tour untuk berinteraksi dengan perkampungan-perkampungan
yang dilewati. Beberapa rumah yang khas Belanda masih bisa ditemukan, meski
sudah ada percampuran dengan gaya modern.
Beberapa menit kemudian
sampailah kita di jalan yang selalu sibuk. Jalan ini sudah ada sejak zaman
Hindia Belanda, bernama Jl. Mataram. Menurut mas Ardhi, belum ada data yang
valid kenapa dinamakan Mataram. Apakah ada hubungannya dengan tentara Mataram?
Apakah ada kesamaan sejarah dengan Matraman di Jakarta?
Di sepanjang Mataram,
dulunya dibangun jalur trem milik Samarang - Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)
yang menghubungkan Semarang Djoernatan - Djomblang dengan jarak 4 kilometer.
Selengkapnya mengenai jalur kereta api dan trem di Semarang, bisa ikut walking
tour rute Spoorweg atau boleh juga baca-baca di link berikut ini.
Penamaan Jl. MT. Haryono
baru ada setelah kemerdekaan. Kini, di sisi kanan kiri jalan utama berjajar
ruko-ruko yang menjual segala macam produk. Di belakangnya, di antara gang-gang
yang tak begitu lebar, terdapat perkampungan padat penduduk. Toponimi /
penamaan daerah tersebut berdasarkan profesi masyarakatnya.
Dengan salah satu peserta
walking tour, kami berandai-andai mungkinkah penyebutan nama-nama
kampung yang berdasarkan profesi warganya ini berperan dalam suatu proses?
Misal:
·
Jagalan ; diambil dari profesi warganya yang sebagian besar
menjadi tukang jagal / pemotong hewan seperti sapi / kambing.
·
Kentangan ; dahulu menjadi tempat orang-orang menjemur kulit,
sebutan Kentangan karena panasnya ngentang-ngentang (dalam Bahasa Indonesia
semacam panas banget). Tapi beberapa tulisan di internet menyebut bahwa
Kentangan dulunya karena banyak orang menanam kentang.
·
Kulitan ; dahulu daerah ini menjadi tempat pengrajin kulit.
Bukankah dari 3 kampung
itu bisa dianggap sebagai suatu proses dari hewan yang dijagal, diambil
kulitnya untuk dijemur, kemudian kulitnya dijadikan kerajinan?
"Tapi misalkan kalau
mau cari malingan atau ngutangan, nggak ada ya. Walaupun itu juga kadang jadi
profesi sih" canda mas Ardhi.
Menyeberang Jl. MT.
Haryono, masuk ke kampung Grajen (dahulu menjadi tempat penggergajian / tempat
pengumpulan serbuk-serbuk gergaji), berdiri sebuah klenteng yang terbilang
masih muda dan berbeda dengan klenteng-klenteng yang ada di Pecinan.
Perbedaan itu ada pada
atapnya yang bertingkat, pintu klenteng yang hanya ada satu semacam rolling
door, serta tidak menggunakan nama Hookian melainkan disebut nama daerahnya
yaitu Klenteng Grajen.
Setelah ini kami dibawa untuk
menyusuri jalan-jalan kampung yang benar-benar beragam. Citra Semarang sebagai
kota multicultural tersaji di sini. Seperti misalnya rumah-rumah orang Tionghoa
berdekatan dengan masjid, atau rumah kuno Semarangan.
Atau bisa juga ditemukan
di salah satu sudutnya, secuil rumah Verbetering. Berupa rumah deret yang
bentuknya mirip. Kampung verbetering ini muncul awal abad ke-20 seiring dengan
kebijakan politik etis, pemerintah Belanda memberi perhatian pada kampung dalam
bentuk peningkatan infrastruktur juga dalam mengatasi masalah kesehatan dan
sanitasi.
Keluar masuk
perkampungan, akhirnya sampailah kita di salah satu sudut gang yang cukup
instagramable. Pada mulut gang tertulis Kampung Kulitan. Bicara mengenai
Kampung Kulitan tak lepas dari salah satu saudagar dan tuan tanah pribumi dari
Semarang. Ia adalah Tasripin, seorang pengusaha kopra, kapuk, dan juga memiliki
bisnis kulit yang dijalankan di Kampung Kulitan ini pada permulaan abad ke-19.
Kampung Kulitan dahulu juga disebut sebagai 'Kerajaan Tasripin' karena ia
beserta segenap kerabatnya pernah tinggal di sini.
Meski tak begitu luas
dibanding kampung yang lain, beberapa rumah khas Semarangan dengan bahan kayu
jati bisa kita lihat langsung di sepanjang Kampung Kulitan.
Tak hanya menarik dalam
hal arsitektur bangunan, kampung-kampung di Mataram juga tak mau kalah dalam
hal kuliner. Di salah satu gang misalnya, ada penjual lumpia atau penjual moachi
yang cukup terkenal di Semarang.
Selisih beberapa gang,
sebagian besar warganya berdagang olahan kambing. Tempat itu bernama Kampung
Bustaman, yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Spesialnya dari gulai tersebut
terletak pada dagingnya yang menggunakan daging bagian kepala serta tanpa
santan.
Memasuki Kampung Bustaman,
bau prengus kambing senantiasa terhirup sepanjang jalan. Beberapa warga
terlihat sedang mengolah daging kambing.
Bisnis kambing di Kampung
Bustaman sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Pelopornya ada 4 orang yaitu H.
Marzuki, H. Ibrahim, Khayat, dan Ny. Klentheng. Bedanya, zaman dulu kambing-kambing
yang akan dipotong harus dibawa ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH), jika tidak maka
akan dikenakan sanksi / denda.
Kampung Bustaman juga tak
lepas dari salah satu tokoh pelukis terkenal yaitu Raden Saleh Sjarif
Boestaman. Masa kecilnya, beliau pernah tinggal di sini. Pada saat usianya 10
tahun, oleh pamannya — yang menjabat Bupati Semarang diserahkan kepada Belanda untuk
belajar. Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda
dan lembaga-lembaga elite Hindia Belanda.
Raden Saleh dikenang
terutama karena lukisan historisnya 'Penangkapan Pangeran Diponegoro' yang
menggambarkan peristiwa pengkhianatan Belanda kepada Pangeran Diponegoro untuk
mengakhiri Perang Jawa pada tahun 1930.
Sebelumnya sudah ada pelukis
Belanda, Nicolaas Pieneman yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro, tapi
Raden Saleh seolah tidak setuju dengan penggambaran Pieneman, kemudian beliau
memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisannya.
Seperti yang dikatakan
mas Ardhi di awal-awal kalau rute Mataram ini tidak banyak bangunan-bangunan
bersejarah / cagar budaya yang bisa diulik.
Namun, Mataram dengan
pesonanya yang tersembunyi di balik ruko-ruko dan pemukiman padat penduduk,
menyimpan potensi tersendiri di Kota Semarang. Bagi pecinta rumah-rumah kuno
jelas mereka akan terkagum-kagum dengan keaslian serta ornamen-ornamen beberapa
rumah warga.
Syaratnya cuma mata harus
jeli melihat ke kanan dan ke kiri. Karena banyak juga bangunan-bangunan modern
yang berdiri di area perkampungan Mataram.
Untuk Semarang,
tetaplah harmonis :)
kreennn kakk,, terima kasih untuk pengetahuannya tentang sejarah mataram,, dtunggu post2 slanjutnya yaa kak
BalasHapusmantap banget kak blognya
BalasHapusud truk
DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
BalasHapusBONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.biz
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^
DISKON TOGEL ONLINE TERBESAR
BalasHapusBONUS CASHBACK SLOT GAMES 5%
BONUS ROLLINGAN LIVE CASINO 0,8% (NO LIMIT)
BONUS CASHBACK SPORTSBOOK 5%
Bonus di Bagikan Setiap Hari Kamis pukul 11.00 wib s/d selesai
Syarat dan Ketentuan Berlaku ya bosku :)
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.biz
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : (+855 88 876 5575 ) 24 JAM ONLINE BOSKU ^-^
mantab
BalasHapus