Kepergianmu membuatku
tidak baik-baik saja.
Bagaimana aku bisa
baik-baik saja jika separuh dari semangatku ikut sirna bersama dengan ketidakhadiranmu
dalam hidupku?
Aku akan menyebutnya
sebagai ‘perpisahan kita’ bukan kepergianmu, kecuali kamu membicarakan perihal
hubungan yang sudah tidak bisa kita lanjutkan lagi. Tapi kamu memilih diam,
meninggalkan kota tempat tinggal kita, meninggalkan aku tanpa pernah ada kabar.
Hilang begitu saja, tanpa pernah kembali lagi.
Terlalu antagoniskah
aku? Biarlah, supaya kamu paham betapa sakitnya ditinggalkan tanpa alasan.
“Yang
kamu lakuin ke saya itu… jahat!”
Merelakanmu tidak
sesederhana yang kau bayangkan. Mengikhlaskanmu bersanding dengan perempuan
yang bukan aku, tidak semudah yang selalu orang-orang nasihatkan. Bukan jodoh
katanya, jika jalan hidup yang dilalui terlalu terjal.
Dan aku tidak
mempedulikan apapun. Aku hanya terlampau mempedulikanmu. Terlalu sering
memikirkanmu. Dan dengan bodohnya terus menunggumu.
Di
setiap detak, ada detik demi detik yang bermakna rindu. Rindu yang beralamat ke
hatimu.
Rutinitasku banyak
berubah semenjak kepergianmu.
Menginjak tahun
ketiga kepergianmu, aku lebih sering jalan-jalan ke berbagai tempat. Mencari
banyak pengalaman. Memutarkan kembali duniaku agar tak hanya berporos padamu. Bukan
hanya mengunjungi kota kesayanganku, Jogja. Karena bagiku Jogjakarta identik
dengan kenangan kita. Tujuannya hanya satu, menyibukkan diri.
Tapi aku tak bisa mengelak
saat bayanganmu menyergap begitu saja.
Aku mematung, mencoba
realistis bahwa kamu sudah tidak bisa bersamaku lagi.
Tapi aku tak bisa.
Harapan ini sepertinya susah untuk dikesampingkan.
Masih kamu yang
mengisi ruang hati, tak bisa dipungkiri.
Tiga tahun bukan
waktu yang singkat.
Ibarat manusia…
Ia sudah bisa berbicara.
Tapi aku memilih diam saja.
Ia sudah bisa
berlari. Tapi aku memilih berjalan di tempat.
Tiga tahun setelah
kepergianmu, aku masih di sini.
Mungkin dengan rasa
yang sama. Mungkin dengan kadar yang sama pula.
Hanya tak setegar dulu
ketika masih bersamamu.
Siang tadi, aku di
bandara. Bandara yang biasanya selalu berisikan cerita tentang kamu. Tapi tiga tahun terakhir membisu. Aku berdiri tepat di depan pintu keberangkatan domestik. Tidak mengantarkanmu.
Tidak mengantarkan siapapun. Hanya ingin menghirup aroma pekat perpisahan. Sayangnya
aku tak bisa berlama-lama di sana. Aku takut air mataku tumpah. Aku takut remah-remah
hatiku berceceran.
Masihkah kau ingat
saat itu?
Tepat tiga tahun yang
lalu, 16 Mei 2013.
Hujan deras menjadi
saksi bisu perihal kepergianmu.
Punggungmu yang tak
menoleh lagi waktu itu. Aku tergugu.
Saya
ingin pergi, namun saya juga ingin kamu kembali. Tepatnya, saya lebih ingin
kamu mengerti bila kamulah tempat saya selalu kembali. – twit @Karizunique
Untuk lelaki
Sagittarius yang (pernah) mengindahkan duniaku,
Hubungan macam apa
yang seharusnya kita jalani? Berteman lagi denganmu membuatku merasa bahagia. Berbincang,
bercanda bersamamu meski melalui obrolan singkat, tak bisa dipungkiri membuat
duniaku tak lagi mendung. Tapi aku takut meminta lebih dari sekedar teman. Lantas
jika aku harus memutuskan kembali pertemanan denganmu, apakah aku siap?
Untuk lelaki
Sagittarius yang masih menawan hatiku,
Tidak pernah ada
laki-laki yang membuatku menunggu dan berharap begitu lama sebelumnya. Namun,
sejak terpikat pesonamu, aku seperti lupa cara menjatuhkan hati pada pria lain.
Karena kamu istimewa, karena kamu lebih hangat dari sekedar seduhan teh di hari
yang hujan. Karena kamu bisa menjadikan duniaku berwarna.
Untuk lelaki Sagittarius
yang (pernah) menyempurnakan hidupku,
Teruslah tertawa,
teruslah bahagia, agar aku tahu kamu baik-baik saja,
Pulanglah, pintu hatiku
masih terbuka menanti kehadiranmu,
Namun jika kamu tak
menginginkan kembali, pergilah dengan dia yang lebih segalanya,
Supaya aku sanggup mengikhlaskanmu
dengan cara yang sederhana..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih dan selamat datang kembali :)