Perjalanan ini saya rencanakan sejak
jauh-jauh hari. Dengan mengajak 2 orang sahabat saya – Mr. and Mrs. (not) on
time – saya harap perjalanan ini akan menyenangkan dan makin seru. Kami akan
naik KA Kalijaga dari Stasiun Semarang Poncol pukul 08.45 dan berhenti di
Stasiun Solo Balapan sekitar pukul 11.30 di hari Minggu tanggal 25 September
2016.
Foto ini diambil pada bulan April 2016 |
Sebuah
Perjuangan
Saya sengaja memilih naik kereta api karena
menghindari jam berangkat yang molor-molor. Eh nggak taunya setelah saya menunggu
di stasiun sampai jam 08.30 mereka berdua belum nongol. Sempat kirim message ke
mereka, katanya masih di rumahnya. WOW!!! 15 menit lagi kereta berangkat dan
kalian belum perjalanan ke stasiun? *oke calm
down*
Antrian di Stasiun Semarang Poncol |
Detik menuju menit kian melaju, dan saya
masih menunggu. Kenapa nggak ditinggal aja naik keretanya? Karena tiketku ada
sama mereka. Kalaupun inisiatif beli tiket lagi nggak bakal cukup waktunya, antrinya
beuuh kayak ular. Oke kembali menyabarkan diri menunggu hingga 2 menit terakhir
dan belum nongol juga batang hidung mereka berdua. Antara kesel, pengen marah,
dan yaudah sih mau gimana lagi.
Dan akhirnya kereta pun berangkat dari
Stasiun Poncol…
Dan saya masih berdiri menunggu di luar
peron…
Dan teman-teman saya datang 2 menit kemudian
setelah kereta berangkat…
Apakah akhirnya saya gagal ke Solo? Kalau
gagal ya artikel ini mungkin nggak akan tayang di blog :D
Yang terjadi kemudian adalah saya nyetop
taksi yang masuk stasiun (mungkin habis bawa penumpang) untuk membawa kami
bertiga ke Stasiun Tawang. Saya bilang ke sopirnya “5 menit bisa sampai, pak?”.
Saya yakin bapaknya bisa, 2 kilometer aja jaraknya. *berasa nantangin pak sopir, ya? hahaa*
Alhamdulillah kami bisa ngejar kereta di Stasiun
Tawang. Meskipun harus lari-lari pada saat check
in dan nyari gerbong tempat kami duduk :D
Dari
Stasiun Mampir Dulu, Boleh!
Saya sudah beberapa kali singgah di stasiun
ini, namun kedua teman saya baru pertama kalinya. Dari Stasiun Solo Balapan
kami berencana jalan kaki sampai di tempat tujuan yaitu Taman Balekambang,
karena menurut saya letaknya ya nggak jauh-jauh amat.
Stasiun Solo Balapan |
Tapi sebelum melanjutkan perjalanan, kami
mampir dulu di sebuah warung yang sudah populer. Sekitar pukul 12.15 kami
sampai di VIEN’S Selat Segar & Sup Matahari di Jl. Hasanuddin No. 99 B, D,
dan E – searah sama perjalanan yang akan kami tempuh.
Warung ini rame banget dan sepertinya nggak
pernah sepi. Pelayannya pun banyak sehingga pengunjung tidak perlu menunggu
pesanan terlalu lama. Yang unik di sini adalah ketika pengunjung setelah memesan
makanan, diharuskan untuk membayarnya ke kasir terlebih dahulu. Kalau belum
bayar ya mungkin nggak bakal di kasih tuh makanannya.
Saya sendiri pesan seporsi sup matahari
(sebelumnya sih sudah pernah nyobain selat daging cacah). Sementara kedua teman
saya agak khilaf, masing-masing pesan 2 menu yang berbeda. Atik pesan seporsi
selat daging cacah dan seporsi nasi soto ayam (aslinya mau pesan gado-gado tapi
habis), sedangkan Handoyo pesan seporsi selat daging cacah dan seporsi nasi
timlo. Mungkin mereka lapar habis adegan ketinggalan kereta, wkwk :D
Seporsi selat daging cacah berisi daging sapi
yang dicacah lalu dibentuk bulat, dengan pelengkapnya satu butir telur utuh, potongan
wortel rebus, buncis, dan kentang goreng, acar mentimun, serta daun selada.
Kuahnya cokelat encer yang rasanya manis, asem, seger.
Cuma dibanderol harga Rp 9.500,- mau coba lagi? YES!
Seporsi sup matahari berisi daging ayam cincang
yang dibungkus kulit lumpia – tapi kulitnya ini ada kayak rasa telurnya gitu,
tebel pula – dibentuk seperti matahari. Bagian atasnya diberi serutan dan
potongan wortel, pipilan jagung rebus, dan keripik kentang. Kuahnya sendiri
seperti kuah sup pada umumnya. Untuk menambah cita rasa bisa dicampur dengan sambal
yang sudah disediakan di atas masing-masing meja. Dengan harga Rp 7.500,- kalau
ditawari buat coba lagi? Boleh!
Seporsi / semangkuk nasi timlo berisi nasi yang
diatasnya diberi potongan wortel, sosis solo, irisan telur, suwiran ayam, soun,
dan taburan seledri. Kuahnya seperti sup (atau soto?). Dengan harga Rp 7.500,-
saja mungkin saya lebih memilih untuk makan di Timlo Sastro. Karena lebih
lengkap tentu saja, dan ini selera aja sih.
Dan makanan terakhir adalah semangkuk nasi soto
ayam yang isinya ya seperti nasi soto pada umumnya. Ada nasi, soun, suwiran
ayam, taburan seledri, dan tambahan keripik kentang. Saya nyicip sedikit rasa
kuahnya yang bening, sayang sekali rasa jeruk di soto ini sangat kurang. Dengan
harga Rp 7.000,- saya lebih milih makan nasi soto Pak Wito di Semarang,
meskipun mangkuknya kecil. Mungkin cita rasa soto di Solo dan Semarang emang beda
kali ya?
Nah, setelah makan dan kenyang, kami
melanjutkan kembali jalan kaki sampai di Taman Balekambang. Bener-bener jalan
kaki di siang bolong (enggak ding, mendung kok, dikit) menyusuri Jl.
Hasanuddin, nyebrang rel kereta api di Jl. RM. Said, nyebrang di perempatan Jl.
RM. Said, nyebrang lagi di perempatan, dan akhirnya sampai di depan pintu
gerbang Taman Balekambang yang saat itu seperti lautan manusia. Mereka berjejal
dengan banyak aktivitas, ada yang jalan masuk, ada yang mau pulang, dan tak
sedikit diantara mereka yang mengabadikan diri bersama payung-payung yang
tergantung di langit-langit dan pintu masuk Taman Balekambang. Ya, hari itu
adalah hari terakhir Festival Payung Indonesia, dimana antusias pengunjung
sangat tinggi.
Apa aja sih yang ada di Festival Payung
Indonesia kali ini? Selengkapnya ada di link ini yaa :)
Wah menu nya menggoda selera banget, trus murmer juga
BalasHapusWah datang ya mbak ?? :D
BalasHapusane nggak ada libur kemarin jadi nggak bisa dateng. Huhuhu..
Wahwah kalau di buat film pppasti menegangkan deh, mungkin itu bapak sopirnya aktor dari pemain "film taxi' dari jepang ya ? Hebat kok berani balap sama kereta api :-D
BalasHapus