Pagi menjelang siang, sang surya memancarkan cahayanya tanpa malu-malu. Mencekat kulit tubuh, memaksa diri untuk melakukan aktivitas. Sesekali angin terbangkan jiwaku pada sosok lelaki yang kucintai di kejauhan sana. “Bagaimana kabarmu sayang? Tidakkah kau merindukanku?”
Di
sepanjang lamunanku, ingin kuceritakan tentang sebuah kerinduan yang amat dalam
kepadamu, wahai inspirasi dan semangat hidupku. Tak ada kata-kata lagi yang
sanggup kuucapkan bagaimana rinduku padamu. Dan entah kebodohan apa yang
memaksaku untuk ingin sekedar bertatap muka denganmu. Peluk aku, cium, aku
mohon.
Telah
kucoba menutup semua indera ku dari kenyataan. Namun aku tak pernah bisa
memungkiri. Mungkin aku hanya terlalu merindukanmu. Hanya? Ah tidak. Aku memang
benar-benar merindukanmu. Apakah kau mengerti itu? Aku merindukanmu, tapi aku
benci itu. Aku benci dengan realita yang ada. Aku benci merindukanmu. Lebih
tepatnya aku benci untuk terlalu merindukan masa-masa itu.
Terlalu
indah masa yang telah kita lewati hingga rasanya terlalu sakit saat sebuah rasa
terpisahkan oleh lautan luas. Rasanya baru kemarin kita saling bergandengan.
Erat, erat sekali. Seperti tak akan terputuskan. Namun kenyataan berkata lain. Dia
pamit dengan tegarnya, menuju sebuah perantauan tempatnya mencari ilmu. Apa
bisa aku bilang aku kehilangannya? Rasanya aku tak bisa, karena aku terlalu
mengasihinya. Dia pergi dengan berbekal genggaman erat dan pelukan. Ah, rasanya
ingin sekali menghentikan waktu di kala itu.
Kini
di tengah kota yang seolah sunyi. Aku seorang perempuan yang selalu untuk berusaha
berdiri tegar. Aku menyayangimu. Aku merindukanmu dengan terlalu, entah apakah
kamu mengetahuinya atau tidak. Tapi, tahukah kamu, aku menangis di setiap aku
ingat kamu. Tapi, percayakah kamu, air mataku keluar begitu saja. Aku terlalu
perih setiap saat merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih dan selamat datang kembali :)