Masih betah LDR?

Aku fikir kamu bakal terus menguatkanku dengan keadaanmu di sana. Nyatanya bahkan kamu lebih cuek dan menggampangkan hubungan ini. Aku butuh perhatian, aku butuh kasih sayangmu yang selama ini.

Aku masih berusaha mengerti tentang hidupmu di sana. Di sebuah daerah pertambangan batu bara yang susah sekali dengan sinyal. Aku juga sudah berusaha bersabar untukmu. Demi kamu. Tapi, apakah selamanya harus aku terus yang menanggung semua ini? Apakah kamu tak mau menengok sedikit saja keadaanku yang semakin katakan saja terpuruk akhir-akhir ini?

Kamu bilang sakit saat aku sempat merindukan mantan pacarku. Tapi, apakah kamu tahu? Aku bahkan lebih sakit lagi jika aku terus-terusan merindukanmu. Aku tak ingin mengatakannya padamu. Sungguh. Aku tak mau, karena itu hanya membuatku makin bertambah dan bertambah merindukan hadirmu.

Ah, rasanya semakin malas tiap pagi harus bangun tidur, karena semangatku telah hilang. Aku tak bisa lagi menelfon dan membangunkanmu. Siang hari waktunya kerja, kamu pun tak sempat sekedar mengirimi perhatianmu melalui text singkat. Pulang kerja juga tak ada semangat-semangatnya, karena aku tahu, kalau kamu pulang kerja pasti tak mungkin akan bisa menghubungiku. Kita terbatas sinyal, dear.

Dan apakah aku harus menunggu datangnya malam dan tak sibuknya dirimu untuk sekedar menghubungiku? Menanyakan keadaanku? Menanyakan apakah aku baik-baik saja? Harusnya kamu sadar, perempuan lebih lemah dan lebih sensitive dari yang kamu kira.

Aku bisa saja kuat, tapi tolong kuatkan aku dengan semua curahan perhatianmu. Tolong kuatkan aku dengan sesekali mengabariku.

Dan pertanyaannya, “Masih Betah LDR?”

Kujawab : ya, selama kamu masih bisa menguatkanku, terlebih peduli padaku, karena aku bukanlah dia, aku bukan mantan pacarmu yang bisa kau diamkan sesukamu.

Jika kamu menemukan sepenggal kalimat ini, mungkin aku sedang mengobati sakit hatiku sendiri.

21 November 2012,

demam tinggi @ office,